Wanita Cantik Yang Berlari Dengan Sikunya
Tak ada yang lebih menyebalkan selain berjalan sendirian menuju rumah sepulang bekerja. Jalan setapak yang kulalui ini selalu saja sepi. Padahal jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Seharusnya jalan ini masih ramai dilalui kendaraan seperti malam-malam sebelumnya. Tapi belakangan ini, isu-isu tidak mengenakkan mulai merebak ke telinga penduduk. Sehingga mereka lebih memilih berdiam diri di rumah, daripada harus keluyuran usai maghrib bertandang.
Jalan setapak ini basah, hujan membuat beberapa lubang di jalan itu tergenang air. Hawa dingin menyergap, membuatku segera merapatkan jaket. Malam gelap yang dingin membuat suasana jalan setapak ini terasa begitu mencekam. Aku berjalan menunduk, sampai tiba-tiba sudut mataku melihat sekelebat bayangan. Aku sigap menoleh, ah.. sial, gubuk kecil di bawah pohon besar itu selalu saja berhasil membuat bulu kudukku meremang. Gubuk yang tidak diketahui milik siapa itu, selalu mampu membuat aku takut melintas di jalan ini. Tapi mau bagaimana lagi, jalan ini adalah jalan yang paling singkat dan cepat menuju rumah.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Aku memperhatikan gubuk tua itu sambil berjalan perlahan. Mataku menelanjangi seluruh bagian dari gubuk yang tidak jauh dari jalan setapak ini. Gubuk tua yang masih kokoh berdiri itu berada tepat di belakang sebuah pohon besar tak jauh dari jalan. Selalu menarik perhatian karena hanya gubuk itulah satu-satunya yang ada di sekitar jalan setapak ini. Retinaku menangkap bayangan seseorang yang mulai terlihat dari jendela gubuk. Seorang perempuan yang kutaksir seusia denganku, tengah membersihkan sesuatu. Hanya sebagian dari tubuhnya yang kelihatan dari jendela itu. Sesudah melakukan tugasnya, perempuan itu segera menutup jendela tanpa tahu aku sedang memperhatikannya sejak tadi.
Pikiranku mulai berdiskusi, menanya dan menjawab sendiri. Siapa perempuan cantik itu? Bukankah selama ini gubuk itu hanya dipakai untuk warga yang tengah menjaga kebunnya di sekitar sini? Atau aku yang tidak tahu-menahu soal kedatangan penduduk baru yang menempati gubuk di jalan itu? Ah, entahlah.. barangkali aku mulai tidak acuh pada hal-hal di sekitarku karena beban pekerjaan yang selalu mengejar deadline. Pikiranku benar-benar tersita dengan pekerjaan, bahkan kekasihku pun ikut uring-uringan jika aku lebih menomorsatukan pekerjaan dibanding dirinya.
Aku tiba di rumah dengan suguhan teh buatan ibu. Meski telah sampai di rumah, pikiranku masih tertuju pada apa yang aku lihat di gubuk tua jalan setapak itu. Penasaran, kutanya ibu yang tengah menjahit seragam sekolah Beni. “Ibu tahu gubuk kecil yang ada di tengah jalan setapak menuju rumah kita?” tanyaku memandang ibu. “Gubuk tua di lahan Pak Karno maksudmu, Zal?” ibu bertanya balik padaku. Aku mengiyakan, “Kenapa memangnya?” tanya ibu lagi. Aku mendekat ke arah ibu, “Ketika melewati gubuk itu tadi, Zal melihat ada seorang perempuan cantik di sana, Bu. Ibu tahu dia siapa?” tanyaku antusias.
Ibu yang masih sibuk menjahit, dengan cepat menggeleng. “Barangkali keponakan Pak Karno, Zal.” Jawab ibu santai. Aku mengangguk perlahan, tapi pertanyaan di hatiku seolah belum terpuaskan oleh jawaban ibu. Aku melirik jam dan segera bergegas menuju kamar. Tapi kemudian, Beni datang dengan terengah-engah, membuka pintu dengan dengan sedikit mendobrak. Aku memelototinya, bikin kaget saja, batinku. “Ada pembunuhan, Bu,” cepat Beni memberi tahu. Kantukku serta merta hilang, berganti rasa penasaran dengan cerita yang baru saja dibawa Beni. “Pembunuhan di mana?” tanyaku ingin tahu. “Siapa yang dibunuh?” ibu tak kalah menyerbu.
“Nggak tahu namanya, Bu. Tapi yang jelas, pemuda yang sering membantu Pak Karno di kebunnya. Ada bekas sayatan di lehernya, panjang sekali. Hiii..” Beni bergidik ngeri. Aku menelan ludah, “Kapan kejadiannya?” tanyaku lagi. “Barusan, Bang. Di ujung jalan setapak itu. Pak Rahman yang tadi hendak ke masjid, menemukan mayat pemuda itu, sebab ada darah yang tercecer di sepanjang jalan,” Beni mengusap wajahnya. “Tega sekali…” ucap ibu berbisik.
Aku terdiam, mengapa tiba-tiba aku jadi merasa takut? Baru saja aku melewati jalan setapak itu, dan aku tidak melihat ada tanda-tanda bahaya di sana. Mengapa selang beberapa jam aku di rumah, ada kejadian mengerikan seperti itu? Bukankah tadi jalanan itu sepi sekali? Dan memang biasanya sangat sepi? Aku pamit pada ibu untuk masuk ke kamar, jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Besok masih ada pekerjaan penting yang harus kuselesaikan.
Aku baru akan berangkat kerja, ketika kulihat Beni tengah berkumpul di teras rumah dengan teman-teman sekolahnya. “Bang Hadi penjaga kebun Pak Karno itu, ternyata mati karena dibunuh hantu.” ucap salah seorang teman Beni. “Iya, padahal cerita itu sudah lama, ya. Hantu wanita yang pernah jatuh didorong seseorang tak dikenal di rel kereta api simpang jalan itu. Dan badannya terlindas hingga terbelah dua di bagian pinggang. Konon katanya ia selalu membawa sabit besar yang tajam dan berjalan mencari korban untuk balas dendam.” teman yang lain menimpali. Kulihat Beni hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan teman-temannya. Aku hanya mendengus sebal mendengar ucapan mereka. Dasar anak sekolah! Bisanya menggosip dan mengada-ada cerita saja. Aku menyalami ibu dan beranjak pergi bekerja, setelah sebelumnya melempar senyum kepada teman-teman Beni.
Aku merentangkan kedua tanganku. Berjam-jam menatap layar persegi empat ini, ternyata membuat mataku lelah. Aku mengucek mata dan melirik jam tanganku, pukul 9 malam. Ya ampun, ternyata kekasihku benar. Aku terlalu maniak dalam bekerja, hingga terkadang lupa waktu. Kubereskan semuanya dan aku beranjak meninggalkan ruang kerja. Beberapa teman masih sibuk menyelesaikan bahan untuk pertemuan besok. Aku pamit dan segera berlalu, mencari bus tercepat untuk bisa segera tiba di rumah. Tiba-tiba aku menjadi sangat rindu dengan teh buatan ibu.
Bus berhenti tepat ketika aku tiba di simpang jalan setapak. Aku turun sambil merapatkan jaket pemberian ibu. Usiaku 24 tahun, dan aku masih sangat menyukai semua barang yang dibelikan ibu. Dan kuakui, aku terkadang lebih manja dari adikku. Angin bertiup agak kencang, awan hitam mulai kelihatan menutup langit. Sepertinya hujan akan segera datang. Aku berjalan lebih cepat dari biasanya. Ah, kenapa aku harus pulang selarut ini? Aku mengutuk diriku sendiri, teringat kejadian malam kemarin soal pembunuhan Bang Hadi di ujung jalan. Juga terngiang percakapan ngaco Beni dengan teman-temannya pagi tadi. Padahal sejak tadi, aku sama sekali tidak memikirkan hal itu.
Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Dan semakin bertambah tidak enak saat aku sadar bahwa aku harus melintasi gubuk tua di pertengahan jalan setapak ini. Dengan keberanian yang kubesar-besarkan, aku membaca bismillah dan berusaha menyeret kakiku untuk bisa segera tiba di rumah. Kubuang pikiran burukku jauh-jauh. Aku berjalan sambil bersenandung kecil, berusaha meminimalisir rasa takut. Jalan ini masih saja sepi, aku berdoa agar ada satu-dua orang yang melintas. Tapi nihil, jalan ini kosong melompong seperti pekuburan.
Tiba-tiba aku tersentak ketika mendengar suara aneh menyentuh gendang telingaku. Seperti suara seretan kaki yang dipaksa. Tapi aku tidak tahu suara itu berasal dari mana. Suara itu semakin jelas terdengar, ketika aku mulai mendekati gubuk tua itu. Aku menelan ludah, suara itu semakin menakutiku. Tiba-tiba, kakiku gemetar hebat ketika aku tak kuasa menerima apa yang telah aku lihat. Di bawah pohon besar yang menghadap utara itu, aku melihat seorang perempuan tanpa kaki tengah membersihkan sesuatu.
Wujud perempuan yang tak asing di mataku itu terlihat begitu mengerikan. Dengan tubuh yang hanya sebatas pinggang, tanpa kaki yang melengkapi. Kulihat dia memegang sabit tajam yang berlumuran darah. Dan astaga.. apa itu? Di belakang pohon besar yang terlihat retinaku, menjorok keluar kepala perempuan dengan rambut sebahu. Perempuan itu sudah tak bernyawa. Darahku berdesir hebat, merasa tak terima atas apa yang baru saja kusaksikan.
Perempuan yang memegang sabit itu adalah perempuan cantik yang malam kemarin kulihat di gubuk tua pertengahan jalan. Bulu kudukku sudah berdiri sejak tadi, tapi kakiku seakan tak bisa diajak kompromi untuk berlari. Aku menepi dan bersembunyi di balik pohon untuk melihat semuanya. Perempuan mengerikan itu berjalan menggunakan kedua sikunya sebagai penopang. Berjalan terseok-seok kesusahan untuk menyingkirkan mayat wanita yang telah dibunuhnya. Aku hampir gila melihatnya, betapa aku tidak mempercayai hal-hal mistik semacam itu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menyangkal lagi, jika sekarang kedua mataku menyaksikan hal semenyeramkan ini.
Tubuhku gemetar hebat, seumur hidup aku tidak pernah bermimpi dan berkeinginan melihat hal semacam ini. Ternyata apa yang diperbincangkan Beni dan teman-temannya pagi tadi adalah benar. Perempuan itu menggelindingkan jasad wanita yang berlumuran darah itu ke sudut jalan. Aku menahan napas, berusaha mengatur detak jantungku yang bertengkar. Lihat, wajah pucat miliknya terasa begitu menyeramkan. Dengan luka di pelipis kirinya yang dalam, membuatnya semakin tampak mengerikan. Usai menyelesaikan dendamnya, hantu perempuan yang memiliki tubuh sepinggang itu, menyeringai dingin.
Dia berlari menuju gubuk tuanya. Dia berlari dengan sikunya, terseok-seok menyeret dirinya untuk kembali bersembunyi. Sementara aku, berbalik arah dan berlari sekencang mungkin. Dengan degup jantung yang tak karuan, aku memilih berbalik dan melewati jalan lain. Aku tidak cukup berani melanjutkan langkah melewati gubuk tua itu. Keringat dingin masih membanjiri tubuhku hingga aku tiba di rumah. Ketika ibu membuka pintu, aku tersenyum dengan wajah yang aku yakin lebih pucat dari orang sakit. Sedetik berikutnya, aku limbung, tersungkur, dan kudengar teriakan ibu memanggil Beni. Setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.
No comments:
Post a Comment