Perjalanan Pulang dari Kedai Kopi
Malam tidak terlalu larut, bagiku, saat aku memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dari kedai kopi langgananku; meninggalkan teman-temanku yang masih ingin tinggal lebih lama. Aku memutuskan pulang terlebih dahulu karena suasana malam itu sudah mulai membosankan bagiku: semua teman-temanku sudah sibuk sendiri dengan ponselnya. Setelah kopiku benar-benar habis dan hanya menyisakan ampasnya, aku bergegas membayar dan beranjak pulang.
“Berapa semuanya, Mas?” tanyaku pada Mas Pri, pemilik kedai kopi langgananku.
“Apa saja, Mas Andik?” pertanyaan balik dari Mas Pri.
“Kopi satu, sama sate telur puyuh satu.”
“Semuanya enam ribu, Mas Andik.”
Aku putuskan untuk berkeliling sejenak; berharap ada toko yang masih buka pada saat itu. setelah hampir lima belas menit aku berkeliling dengan sepeda motoroku, aku berhasil menemukan toko kecil yang masih buka. Toko itu terletak di antara deretan ruko yang sudah tutup. Nampak ada enam remaja, yang sepengamatanku, masih duduk di bangku SMP sedang nongkrong di depan toko. Enam remaja itu terlihat serius mengobrolkan sesuatu.
Keinginanku untuk segera membeli sesuatu dan segera pulang mendadak hilang, ketika aku iseng mendengarkan percakapan singkat enam remaja itu. Sembari berpura-pura mengingat barang yang ingin dibeli, aku menguping pembicaraan mereka.
“Memang apa yang kamu pikirkan, hah? Biar terlihat keren begitu?” kata seorang remaja yang terlihat lebih tua dari lainya kepada salah satu temanya.
“Ya, nggak. Aku sudah tidak nyaman saja di rumah,” kata remaja yang ditanya.
“Sudahlah. Kamu mending pulang saja. Kasihan orangtuamu. Memangnya kamu senang melihat kondisi orangtuamu yang sedang bingung mencari kamu.”
“Aku sebenarnya ingin pulang, tapi..”
“Tapi apa? Gara-gara masalah sepele kamu sampai marah sama orangtuamu.”
Saat aku fokus menguping pembicaraan itu, pemilik toko mengurku, dan bertanya ingin membeli apa. “Iya mas sebentar. Saya lupa,” jawabku kepada pemilik toko.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
“Sudahlah, kamu pulang sekarang. Orangtuamu menunggumu di rumah. Jangan sampai kamu menyesal sama keputusanmu. Mungkin untuk sekarang, karena kamu emosi, kamu masih yakin ingin meninggalkan rumah. Tapi, nanti, kamu pasti menyesal. Percaya sama kata-kataku.”
Remaja yang diceramahi hanya diam tertunduk, seperti menyesali perbuatanya.
Melihat pembicaraan itu sudah mencapai klimaks dan malam juga semakin larut, aku memutuskan untuk segara menyelesaikan akting pura-pura lupa dan segera membeli barang yang sudah aku niatkan sebelumnya.
“Oh iya. Saya baru ingat. Saya beli yang itu mas,” kataku kepada pemilik toko seraya tanganku menunjuk sesuatu yang ada di bagian depan etalase toko itu. “Berapa harganya?”
“Tiga belas ribu,” kata pemilik toko dengan mimik wajah sedikit kesal.
Sewaktu aku akan segera pergi dari toko itu, langkahku terhenti. Aku melihat remaja yang menasehati temanya itu mulai menyulut sebatang rokok. Ada niat ingin menegur remaja itu bahwa rokok bukan untuk dikonsumsi anak yang masih di bawah umur seperti dia. Hampir saja aku laksanakan niatku, tapi seketika itu pula aku urungkan. Aku baru sadar bahwa tangan kananku masih menggegam sebungkus rokok yang baru saja aku beli dari toko itu.
No comments:
Post a Comment