Cerita Ngentot 2019 Kenikmatan yang tak terucapkan - Cewek Hot - Cewek Panas - Cewek Indonesia - Cewek Abg Plus - Pijit Plus

Breaking

Home Top Ad


Post Top Ad

Responsive Ads Here

Saturday, March 30, 2019

Cerita Ngentot 2019 Kenikmatan yang tak terucapkan

Cerita Ngentot 2019 Kenikmatan yang tak terucapkan




Aku dan si Harni sudah saling memahami dan satu rahasia. Karenanya, selaku manusia normal yang masih muda tentu saja tidak aneh jika kami memiliki keinginan untuk mengulangi peristiwa dahsyat yang luar biasa kenikmatannya itu. Kecenderungan seperti itu adalah fitrah bagi setiap manusai, di mana selalu ingin merasakan kembali suatu kenikmatan yang telah dialaminya, meskipun kesannya tentu jauh berbeda dengan yang pertama kali.

Singkat cerita, sekitar 4 hari dari kejadian yang pertama itu, kami kembali sepakat sewaktu berjalan bersama pada saat kami pulang dari sekolah untuk bangun lebih pagi lagi dan kami sepakat ketemu di sumur jam 4.00 wita (subuh). Namun, Harni nampaknya tepat waktu, ia tiba di sumur tua di tengah-tengah sawah yang pernah aku sebutkan dalam episod cerita aku yang lalu, sementara aku tiba di sumur itu jam 4.30 subuh hari itu karena agak terlambat bangunnya. Maklum aku tidur larut malam setelah tukar pikiran di pos ronda bersama para tukan ronda di kampung aku malam itu.

Awalnya Harni memang agak kesal menunggu lama, bahkan ia telah selesai mandi, namun masih mencuci beberapa lembar pakaiannya yang sebenarnya belum terlalu kotor dan tidak direncanakan akan dicuci, tapi hanya sekedar alasan kalau-kalau ada warga yang kebetulan mendapatinya sedang menunggu di sumur itu. Tentu saja sebelum ia mengeluarkan kata-kata kesalnya, aku segera mengucapkan permintaan maaf atas keterlambatan aku. “Mengucapkan maaf itu memang mudah, tapi aku ini selain kedinginan juga malu kalau-kalau ada orang lain melihat aku sendirian di sumur pada subuh hari” katanya setelah aku minta maaf padanya.

Untuk mengobati kekesalannya Harni itu, tanpa aba-aba aku langsung memeluknya dan mengecup sedikit pipinya, dalam hati aku biar ia merasa lebih hangat. Aku tentu lebih berani melakukan hal itu, karena aku sudah yakin ia pasti senang dan tidak bakal menolak sebab kami telah melakukan di rumahnya lebih dari sekedar memeluk tubuhnya yang langsing itu. Ia pun pasrah tanpa reaksi apa-apa merasakan hangatnya pelukan aku itu, mungkin dia masih agak malu-malu membalas pelukanku, maklum sikap seperti itu sudah merupakan fitrah bagi setiap wanita, apalagi dia masih gadis. Pelukan aku itu tidak berlangsung lama karena dia nampaknya agak minder, sehingga tidak berani memberikan reaksi yang sama.
Setelah aku lepaskan pelukan itu, dia pun beranjak duduk di pebukitan pinggir sumur dan aku segera menuju sumur buat mandi dan langsung melepas semua pakaian aku tanpa selembarpun tersisa di badan aku, lalu menyiramkan air ke seluruh tubuh aku tanpa peduli bahwa secara diam-diam si Harni terus memperhatikanku. Sikap Harni itu sebenarnya aku sadari, tapi aku pura-pura tidak memperhatikannya dan membiarkan saja menikmati pemandangan yang ada pada tubuhku, lagi pula kan kami sudah saling mencintai dan tidak mustahil juga dia merindukan untuk kembali menikmati peristiwa di atas selembar papan di rumahnya itu.

Ketika aku sedang mandi, nampaknya diam-diam ia memperhatikanku, maka aku sengaja mengocok-ngocok kemaluan aku dengan sabun agak lama tanpa menoleh sedikitpun padanya, biar ia puas memandanginya tanpa perasaan malu dari aku. Saking asiknya dia memandangi alat vitalku yang aku ngocok terus itu, sehingga tanpa kami sadari ternyata di belakang Harni ada wanita setengah baya berdiri memperhatikan sikap kami berdua sejak tadi, bahkan ikut menyaksikan dan menikmati tontonan menarik yang aku peragakan di tepi sumur itu.

Ternyata yang berdiri itu adalah mamanya Harni (tak perlu aku sebutkan namanya) yang menysul anak pertamanya itu ke sumur karena takut terjadi apa-apa pada diri Harni, apalagi baru kali ini Harni terlalu pagi ke sumur dan agak kelamaan pulangnya, sehingga tentu saja sebagai orang tua yang menyayangi anaknya ia segera saja menyusulnya.

Belakangan baru aku ketahui bahwa mamanya Harni itu belum pernah menyaksikan secara jelas sebelumnya pemandangan seperti yang aku peragakan di pinggir sumur itu, bukan hanya aksi aku tapi juga barang berharga yang tergantung di selangkangan aku, sebab ternyata setiap ia bersetubuh dengan suaminya selalu dalam keadaan tertutup pakaian tanpa ada rangsangan pendahuluan, dan itupun dilakukannya rata-rata pada tengah malam setelah anak-anaknya diyakini pada tidur nyenyak semua.




Ketika aku sadar bahwa mamanya Harni sejak tadi berdiri menyaksikan sikap kami, aku segera meraih sarung yang letaknya tidak jauh dari tempat aku berdiri, lalu segera membalutkan ke tubuh aku yang bugil itu, dan berusaha secepatnya pergi meninggalkan Harni yang berdiri bersama mamanya kl. 2 meter dari pinggir sumur itu. Aku sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara sedikitpun, mulut aku tiba-tiba seolah terkunci dan demikian pula halnya si Harni yang hanya berdiri agak gemetaran di samping mamanya itu.. Ia tak mampu melangkahkan kaki, apalagi berbicara.

Ketika aku bergegas pulang dan melangkah kl.7 m dari tempat Harni dan mamanya berdiri, tiba-tiba

“Sarmali…, koe jolo iko…! (sini dulu kamu..!)” demikian bentakan mama si Harni pada aku dalam bahasa daerah kami. Suaranya lantang, keras dan runcing sekali membuatku tersentak dan takut sekali jika ia marah dan melaporkan kejadian ini pada suaminya, orang tuaku, warga kampung dan..pokoknya rasa takutku luar biasa pada waktu itu melebihi rasa takutku pada orang tuaku sendiri ketika beliau marah padaku. Suaranya keras bagaikan petir dan seteron yang menyengat sekujur tubuhku. Mukanya merah kehitaman seperti orang habis dipukul dan ingin balas dendam.

Tanpa suara sedikitpun, aku pelan-pelan mendekatinya dan pasrah menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan atas sikap kami berdua tadi, yang kurang senono menurut pandangan masyarakat di kampungku.

“Tongentongeng pada ikotu massifa olok-oloko, asu..! (Kalian ini betul-betul bersifat binatang, anjing..!)”. Kata ibunya Harni lebih lanjut setelah aku berada sekitar 2 m di depannya sambil menunjuk muka aku.

“Addampengakka puang, tappasalaka kasi, (maafkan kami bu, kami khilaf). Begitulah kata-kata aku di depannya dengan bahasa daerah yang sama sambil sedikit berbungkuk sebagai tanda kesopanan dan penghargaan aku padanya.

“Maupe’ko tu ia bawang mitako, tania tau laingnge, magani kira-kira nakko engka tau lain mitako atau missengngi gaunu nye, apalagi bafa’nu, naulle kafang nauno manekko” peringatannya lebih lanjut seolah menasehatiku. Maksudnya bahwa




“untung hanya aku yang melihatmu atau mengetahuimu, tidak ada orang lain, kira-kira apa jadinya jika ada orang lain yang melihat dan mengetahuimu, apalagi bapakmu, mungkin ia membunuh kalian”. Suara dan warna mukanya mulai sedikit normal. Setelah itu, aku disuruh pulang dengan cepat agar aku tidak terlambat ke sekolah, apalagi sudah mulai berdatangan warga untuk ambil air di sumur itu yang menunjukkan bahwa hari sudah mulai siang, nampak pula matahari di ufuk Timur memancarkan sinarnya. Aku sedikit lega karena kemarahan mamanya Harni agak menurun, bahkan nampaknya ia dapat merahasiakannya dan tidak memberi ancaman hukuman apa-apa pada kami. Akupun segera berlari pulang hingga sampai di rumah, sedang Harni berjalan bersama mamanya.

“Sar.., kenapa kamu terlambat pulang dari sumur nak, cepat-cepatlah, nanti kamu terlambat di sekolah, sehingga kamu dimarahi oleh gurumu)”. Hanya itulah kata-kata mamaku dari dapur setelah aku tiba di rumah dengan menggunakan bahasa daerah.

“Terlalu banyak orang mau ambil air di sumur, sehingga terpaksa kita antri” hanya itu jawaban aku pada mamaku sedikit berbohong. Lalu tanpa sempat sarapan pagi, aku langsung meraih buku pelajaranku dan segera pamit meninggalkan rumah sambil sedikit berlari tanpa menunggu lagi Harni, agar aku tidak terlalu ketinggalan mengikuti materi pelajaran jam pertama di sekolah.

Sesampai di sekolah, akupun langsung masuk ke kelasku dan duduk di tempat yang biasanya aku duduki karena memang sedang kosong.

“Kenapa kamu terlambat, dari pasar lagi yeah?” tanya ketua kelasku yang kebetulan duduk berdampingan denganku. Mendengar pertanyaan temanku itu, aku lalu menjawab dengan sedikit berbohong

“Yah, tapi kan belum juga kita belajar”. Kebetulan aku dengan ketua kelasku sangat akrab, sehingga ia tak tega melaporkan hal ini pada guru, apalagi dia pun juga sering terlambat jika hari pasar. Kebetulan jarak antara sekolah kami dengan pasar kecamatan hanya sekitar 100 m. Mendengar ucapan aku itu, spontan terdengar suara tawa dari beberapa teman yang duduk di sekitarku. Ternyata aku yang Ditertawakan karena baru aku tahu kalau pelajaran pertama hari itu baru saja selesai sekitar 3 m yang lalu setelah ketua kelasku menunjukkan jam tangan yang dikenakannya, ternyata sudah jam 9.00.Mereka semua pada menunggu guru yang akan mengajar pada jam kedua.

Untung keterlambatanku tidak ada yang berani melaporkannya pada kepala sekolah atau pada guru lainnya, apalagi antara aku dengan ketua kelas sudah saling pengertian, boleh dikata satu rahasia. Walaupun aku dengan tenang mengikuti materi-materi pelajaran pada hari itu hingga akhir pelajaran, namun pikiran aku tak pernah terkonsentrasi pada materi, melainkan pikiran aku selalu tertuju pada peristiwa di sumur tadi pagi.

Yang selalu menghantui aku adalah apakah perbuatan aku dengan Harni tadi tidak akan diketahui orang lain kecuali mamanya si Harni saja? akankah hal ini tidak sampai dilaporkan dan diketahui bapaknya Harni? dan apakah Harni masih mau dan masih dibiarkan jalan bersama dengan aku seperti pada hari-hari sebelumnya? Hanya itulah yang selalu membayangi pikiranku dalam perjalanan pulang dari sekolah.

Hari itu aku berjalan sendirian pulang dan tidak berusaha menunggu si Harni dari sekolahnya seperti pada hari-hari sebelumnya, sebab mungkin ia malu ketemu aku setelah ia dimarahi oleh mamanya di depan aku ketika di sumur itu atau dilarang oleh mamanya pergi ke sekolah, apalagi ketemu dan berjalan bersama dengan aku, serta berbagai macam dugaan pertanyaan yang muncul di pikiran aku mengenai keadaan Harni setelah kejadian tadi subuh itu di sumur.

Hingga aku tiba di rumah, pikiran aku tidak pernah konsentrasi pada pelajaran di sekolah, keadaan di perjalanan dan makanan yang ada di rumah, bahkan selera makanku tiba-tiba berkurang setelah sebelumnya aku selalu makan dengan nikmat sekali akibat jauhnya perjalanan yang aku tempuh pulang balik antara rumah dan sekolah aku.

Sudah 3 hari setelah kejadian itu aku tidak ketemu Harni, hingga pada hari keempat dari kejadian itu, aku penasaran ingin ketemu Harni untuk menanyakan keadaan dirinya yang sebenarnya setelah kejadian itu, sehingga aku coba bangun agak lebih awal dari biasanya agar bisa aku ketemu di sumur seperti biasanya siapa tahu dia selalu ke sumur lebih pagi. Pagi itu, aku tiba di sumur itu kurang 3 m jam 4.00 subuh menunggu kedatangan Harni. Tapi hingga jam 4.15 m ia belum juga datang. Dalam hati aku mungkin ia selalu datang ke sumur agak terlambat dari biasanya. Karena itu, walaupun aku selesai mandi, namun aku berniat mencoba menunggunya sampai jam 4.30, jika ia tidak datang juga, aku harus pulang biar besoknya lagi aku coba ke sumur agak terlambat lagi, siapa tahu bisa ketemu.

Baru saja aku mau duduk di pebukitan di sekitar sumur itu untuk menunggu datangnya Harni, tiba-tiba terdengar suara tidak jauh dari belakangku

“kamu Sarmali, apa yang kamu tunggu di situ, kamu tunggu lagi Harni yah, kamu mau peraktekkan lagi, betul-betul kamu tidak kapok yah”. Kagetnya aku bukan main setelah mendengar suara itu dengan bahasa daerah tulen, ternyata datangnya dari mamanya Harni. Belum aku sempat bicara dan menjawab pertanyaan mamanya Harni itu, tiba-tiba ia memegang bahu kiriku dan menyatakan (semua kata-kata yang diucapkan mamanya Harni selalu dengan bahasa daerah Bugis, tapi aku tak perlu mengutip semuanya dalam cerita ini).

“Sejak aku ketahui perbuatanmu dengan Harni waktu itu, aku melarang lagi Harni bertemu denganmu, apalagi bergaul/bersamamu, jadi sabar saja sebab terlanjur kuketahui perbuatanmu, untung saja aku tidak lapor sama bapaknya”. Itulah kata-kata yang disampaikan mamanya Harni pada aku ketika ketemu di sumur itu. Hati kecilku berkata ternyata betul dugaanku, Harni dilarang lagi oleh mamanya bergaul dan jalan bersama denganku. Bahkan baru kali itu aku tahu dari mamanya Harni jika Harni (anaknya) tidak pernah masuk sekolah dan tak pernah lagi ke sumur itu, karena mamanya melarangnya kecuali Saremani oleh mamanya atau adiknya.

Mungkin karena rasa malu atau jengkel sama mamanya sehingga Harni mandi dan mencuci di sumur lain yang tidak terlalu jauh dari rumahnya, meskipun airnya kurang bagus dan sering kering. Si Harni menurut mamanya selalu murung dan lebih banyak dalam kamar dengan alasan sakit, sehingga ia dan suaminya tidak mau memaksa anaknya itu ke sekolah, meskipun mamanya sendiri tahu jika hal itu hanya alasan semata, tapi tetap ia memaklumi perasaannya.

Setelah mamanya Harni mengutarakan keadaan Harni pada aku dengan suara agak lembut dari sebelumnya, iapun lalu berkata “Sebenarnya aku tidak melarang kamu Sar, bermain-main seperti yang kamu lakukan tempo hari di sumur ini, tapi jangan di depan anak aku Harni, sebab ia masih anak gadis yang tidak tahu apa-apa, nanti urusan sekolahnya terganggu. Jika kamu benar-benar mau begitu, kan banyak perempuan lain yang menyukai hal seperti itu. Aku sendiri sudah tua, tapi masih senang dengan hal seperti itu. Suamiku tidak pernah memperlihatkan kemaluannya pada aku seperti yang pernah kamu perlihatkan pada anakku Harni di sumur ini. Padahal sudah lama aku ingin sekali melihat secara jelas, tapi tak pernah ia mau dan aku pun tak perna meminta ia telanjang bulat sebab aku malu dan takut meminta atau menyuruh ia lakukan di depanku. Nanti ia menyangka aku ini macam-macam atau hiper sex”.

Alangkah bahagianya dan mengherankan aku ketika mendengar kata-kata polos dari mamanya Harni itu. Apalagi ketika ia berterus terang pada aku bahwa

“aku pun sebenarnya tidak pernah berani dan diminta oleh suami aku untuk telanjang bulat di depannya sekalipun kami sudah mau kerjakan perbuatan itu yakni bersetubuh atau bersenggama. Kalau suamiku mau menggauliku, ia tak pernah banyak bicara, banyak tingkah dan tak pernah meremas-remas payudaraku atau kemaluanku. Ia langsung saja bangun, lalu duduk, lalu mengangkat sedikit sarungku, lalu ia tarik kebawah rok dan celanaku. Pada saat seperti itu, aku sudah ngerti maunya, lalu aku renggangkan sedikit kedua pahaku, kutarik sedikit kedua bibir kemaluanku, lalu ia masukkan kemaluannya, sebab sebelum bangun biasanya kemaluannya sudah berdiri lalu bangun langsung mengangkangiku. Kedua tangannya Sarellakkan di samping kiri kanan sebagai penyanggah, lalu ia dorong bolak balik kemaluannya hingga amblas seluruhnya.

Manaya Harni cerita panjang lebar padaku, katanya

“Ketika suami aku sudah masukkan kemaluannya ke dalam vagina aku, aku hanya membantu menggerak-gerakkan pinggul aku supaya amblas seluruhnya, jika perlu dengan biji plernya sekalian biar lebih nikmat rasanya ha..ha. Aku rasanya bahkan takut dan malu mengajak lebih dulu senggama meskipun sebenarnya aku sudah ingin sekali. Apalagi telanjang bulat tanpa permintaannya. Jadi hingga keluar sperma dari kemaluannya, tak pernah sama sekali merobah posisi atau gerakannya. Tak pernah ia mencium susu, pipi, bibir, kemaluan atau kelentitku seperti yang sering aku dengar dalam cerita orang-orang yang biasa nonton film dewasa dari vcd”. Cerita mamanya Harni pada aku dekat sumur yang merangsang aku.

Cerita terus terang dan panjang lebar itu, mungkin disengaja oleh mamanya Harni karena ada maksud lainnya pada aku, tapi yang jelas ia kelihatannya agak kesal atas kepasifan suaminya dalam bersetubuh, sehingga ia seolah-olah ingin menikmati lebih daripada itu, misalnya dirangsang lebih dahulu atau diperlihatkan segala alat vital suaminya, seperti yang ia lihat pada aku tempo hari. Ia nampanya ada keinginan praktekkan cerita dewasa yang sering ia dengar dari teman pergaulannya, sebab ia sendiri belum pernah menyaksikan langsung adegan sex dalam film atau membaca cerita dewasa. Ia hanya dengar dari orang lain bahwa banyak posisi dan model gerakan sex yang dapat dilakukan dan rasanya lebih nikmat dari pada posisi biasa yang ia kenal dan sering lakukan.

Setelah membeberkan pengalamnnya dengan suaminya, mamanya Harnipun berbegas ke sumur untuk mandi sambil berkata

“Tunggu aku dulu yah, nanti kita sama-sama pulang” ucapannya sambil berjalan ke pinggir sumur. Spontan saja belum sampai di tempat cucian pinggir sumur, ia sudah buka sarung dan bajunya, sehingga dari belakang aku sempat melihat kait BH-nya dan CDnya yang warna kuning.

“Dasar perempuan penasaran” (dalam hati aku). Sesaat setelah itu, ia sudah bugil, sebab memang ia tidak pakai rok dan baju dalam, namun kali ini baru terlihat dari belakan. Tapi berselang beberapa detik saja, ia sudah menyiram seluruh tubuhnya yang polos itu dengan air. Aku sempat terperangah dan tersentak sejenak ketika ia berbalik ke arah aku, apalagi aku berdiri tak jauh dari tempatnya mandi, sehingga susu dan putingnya yang menantang serta gundukan yang ada di selengkangannya terlihat dengan jelas sekali.

Jantung aku berdebar ingin menyaksikan pemandangan itu lebih lama, bahkan memegangnya sekalian, tapi ada rasa malu dan takut dalam hati aku, sehingga aku mencoba untuk terus terpaku di situ. Susu dan putingnya yang tidak jauh beda dengan milik Harni, mungkin karena baru dua anaknya yang pernah mengisap dan itupun sudah lama sekali, sementara bapaknya memegangpun jarang, apalagi menjilatinya, sehingga wajar jika masih indah, montok dan menantang. Hanya yang kurang wajar bagi aku adalah gundukan yang ada di selangkangannya,ternyata bersih, agak mengkilap seolah belum pernah melahirkan, bahkan tak satupun bulu-bulu yang tumbuh di atasnya. Padahal menurut perkiraan aku usianya sudah di atas 40 th. Umumnya orang mengatakan bahwa rata-rata kemaluan orangtua setengah baya Sarumbuhi bulu yang agak lebat, sedang kemaluan mamanya Harni justru gundul dan tidak ada bekas dicukur.

Keadaan alat sensitif mamanya Harni aku ketahui setelah ia tiba-tiba memanggilku “Sar, ke sini dulu, bantu aku gosokkan dengan sabun pada bokong aku sebab tangan aku tak sampai” ia memanggil aku sambil sedikit melambaikan tangannya ke arah aku. Tentu saja walaupun diselingi rasa takut bercampur malu, tapi sebagai pria normal yang pernah dan ingin menikmati keindahan tubuh wanita, aku harus lebih memberanikan diri dan membuang jauh-jauh rasa takut dan malu agar kesempatan emas ini dapat aku nikmati.

Segera saja aku lebih dekat dan meraih sabun dari tangannya, lalu pelan tapi pasti aku coba sentuh bokongnya dan menggosoknya dengan sabun sampai bersih. Dalam hati kecil aku sudah yakin jika mamanya Harni justru mau menikmati barang aku yang telah disaksikan tempo hari, apalagi setelah aku kaitkan dengan ceritanya tadi dengan suaminya yang seolah kurang puas bersetubuh dengannya, maka tidak ada lagi rencana lain kecuali ingin menjadikan aku sebagai pemuas nafsunya.

Setelah beberapa menit aku gosok-gosokkan tangan aku di daerah belakan, kini tiba-tiba ia berbalik menghadap ke arah aku sehingga tanpa sengaja tangan aku bersentuhan sedikit dengan payudaranya. Iapun kelihatannya merinding dan merasa nikmat atas sentuhan tangan aku, dan aku langsung

“Maafkan aku bu, aku tak sengaja” kata aku pada mamanya Harni saat menyentuh susunya tanpa sengaja.

“Mmm…,Tak apa-apa, jika perlu kamu boleh pegang, remas, cium dan isap putingnya” itulah yang sempat diucapkannya sambil menarik tangan aku ke arah payudaranya, sehingga tanpa perintah akupun memegang dan meremasnya sedikit. Bahkan kali ini ia telanjangi aku dengan menarik sarung aku ke atas hingga keluar lewat kepalaku, selanjutnya ia tarik celana dalam aku ke bawah hingga lepas, sehingga aku dalam keadaan bugil seperti dirinya. Sungguh luar biasa kenikmatan dan kebahagiaan di subuh hari ini, ternyata impian aku untuk menikmati tubuh Harni jatuh pada tubuh mamanya yang tak jauh beda bentuk dan segalanya.

Mula-mula berjalan agak pelan dan lembut remasan tangan aku atas kedua payudaranya, namun karena terdengar bisikannya

“Cepat-cepatlah Sar..nanti ada orang ke sumur ini dan ia mendapati kita, pasti ia bunuh kita, isaplah cepat puting susuku” begitulah kata-katanya sambil menarik kepala aku lebih rapat lagi ke payudaranya, bahkan tangannya juga sudah mulai berani memegang dan menngocok kemaluan aku sehingga akupun merasa kenikmatan. Napas kami saling buruh, hingga

“sssttt…aaahhh….mmmm….nnnn…ohhh….” itulah suara yang terdengar dari mulutnya di kesunyian subuh itu menambah indahnya untaian burunhg di atas pohon yang sudah mulai ramai kedengaran karena memang sudah menjelang pagi. Aku merasa tak lama lagi para warga akan berdatangan mengambil air di sumur itu, sehingga kami tambah mempercepat aksinya. Tanpa ia minta dan perintahkan, aku segera menurunkan kepala ke selangkangannya ingin juga rasanya menikmati kemaluannya yang bersih, indah, gundul dan montok itu lewat mulut aku.

Sesaat setelah itu, maka aku dengan cepatnya pun menjulurkan lidah aku ke lubangnya setelah aku sedikit membuka kedua bibir kemaluannya dengan kedua tangan aku setelah merenggangkan kedua pahanya karena ia masih dalam keadaan berdiri. Setelah terasa lidahku masuk ke lubang kemaluannya, maka aku gerak-gerakkan biar dia menikmatinya dan tidak penasaran lagi seperti ceritanya tadi. Ternyata tindakanku itu tidak sia-sia sebab nampak dari rintihannya, ia sungguh menikmati gesekan kiri kanan atas bawah maju mundur lidah aku.

Mungkin karena saking nikmatnya, maka ia tak tahan berdiri, ia segera jongkok, lalu mencari tempat duduk di atas batu yang ada dibibir sumur, sehingga aku lebih leluasa menjilati kemaluan dan kelentitnya, kadang aku gigit-gigit kecil sehingga pinggulnya maju mundur tanpa disengaja.

Setelah aku puas menjilati kemaluan dan kelentitnya serta aku yakin ia betul-betul puas menikmatinya, aku pun coba angkat pantatnya dan menurunkannya ke lantai tempat cucian sumur karena sejak tadi aku ingin sekali menembus kemaluannya dengan kemaluan aku. Baru aku berlutut di antara kedua pahanya yang berdiri, ia tiba-tiba jongkok sehingga kelihatan warna lubang kemaluannya yang agak kemerahan yang di tengahnya tertancap suatu daging menumpang kecil dan bulat. Ia segera meraih kemaluan aku, lalu dikulumnya secara keras dan cepat seolah ingin memuaskan aku lebih cepat, apalagi kicauan burung sudah lebih ramai kedengaran sebagai tanda bahwa hari sudah menjelang pagi.

Tak lama lagi warga akan berdatangan ke sumur itu, maka tak lama kemudian iapun segera mengakhiri kulumannya pada kemaluan aku, lalu berbaring di lantai cucian dan menyanggah kepalanya dengan batu yang ada di pinggir sumur, lalu merenggangkan sedikit kedua pahanya, sebagai isyarat aku harus cepat-cepat memasukkan kemaluan aku ke kemaluannya yang dari tadi

Sesudah itu, akupun segera berlutut di antara kedua pahanya, lalu sedikit demi sedikit mendorong kemaluan aku kedepan hingga ujungnya terasa tertancap pada salah satu lubang yang menang menganga dan menunggu kehadirannya. Pada mulanya terasa agak sulit masuknya, sehingga sejenak ujungnya bertahan pada lubang bagian luar kemaluannya, namun setelah berkali-kali aku gerakkan, ke kiri, ke kanan, maju, mundur, akhirnya amblas juga. Mulailah aku maju mundur dan gerakkan dengan cepat kemaluan aku, sehingga kedengaran bunyi “blak…blakk…decak…decik…” seirama dengan kicauan burung di atas pohon. Mamanya Harni hanya bisa mendesis seperti seekor ular yang mau mematuk

“sssstttt,,,,ahhhh,,,mmmmm…eeeenakkknya, ceeeepat Sar” begitulah suaranya yang bisa keluar dari mulutnya hingga aku membalikkan tubuhnya dan aku tinggal di bawah. Iapun mengerti apa keinginan aku, dan langsung saja ia naik turunkan pinggulnya seperti orang naik motor di atas jalanan yang penuh dengan batu besar.

Kami secara bersamaan mengeluarkan suara-suara yang tidak pernah berobah “aaahhh….mmmm….sssttttt….aduuhhhh…..ennnaaakkkk” begitulah berkali-kali suara kami. Akhirnya tanpa aba-aba dan komentar, terasa ia mengejang-ngejang dan kepalanya kelihatan mulai kekiri dan kekanan, hingga ia menindis aku lebih keras dan menggigit bibirku agak keras serta merangkulku sebagai tanda ia telah mencapai puncak kenikmatan atau orgasme.

Sedang aku baru terasa mulai berjalan keujung kemaluan aku, sehingga aku harus tetap menarik dan mendorong pinggulnya agar kemaluan aku tetap amblas dalam vaginanya. Bahkan ketika terasa cairan hangan mulai memaksa keluar, aku kembali merangkul erat, dan mengisap bibir serta menggigitnya juga, sehingga sperma aku keluar dalam keadaan kemaluan aku tertancap di kemaluannya atau memuntahkan dalam vaginanya. Dalam hati aku tidak ada masalah, sebab ia sudah muncrat duluan, sehingga pembuahan atau kehamilan kemungkiannya kecil, karena tidak bersamaan.

Mamanya Harni betul-betul menikmati permainan aku ini, karena aku dapat merasakan isyarat dari eratnya rangkulannya seolah tidak membiarkan aku menarik kemaluanku keluar dan nampaknya ia ingin sekali menikmati puncaknya persetubuhan denganku. Karena itu, aku tidak tega memaksakan kehendak menarik kemaluan aku keluar tanpa seizinnya, sehingga kami tetap berpelukan beberapa menit walaupun kami sama-sama telah mencapai puncaknya.

Setelah beberapa menit kami sama-sama merasakan puncak kenikmatan, tanpa banyak basa basi dan menunggu terlalu lama lagi, kamipun segera bangkit dan sama-sama mandi kembali tanpa harus pakai sabun lagi. Lalu kamipun meninggalkan sumur itu, setelah kedengaran dari jauh mulai ada suara manusia yang makin lama makin dekat. Mungkin suara warga yang akan mengambil air di sumur itu. Tentu saja kami tidak jalan bareng, sebab takut orang yang melihat kami salah sangka, meskipun sangkaan mereka benar adanya. Yach dasar akal busuk manusia yang telah melakukan pelanggaran. Kami memilih jalanan yang berbeda dan menghindar berpapasan dengan orang yang datang ke sumur itu.

Sebelum kami betul-betul terpisah, aku sempat berkata

“Terima kasih bu atas pertolongannya padaku, baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang sebenarnya”. Mendengar ucapan terima kasihku itu, iapun bergegas berkata

“Terimah kasihku lebih besar lagi, karena walaupun aku sudah beberapa kali melakukan senggama dengan suamiku, tapi belum pernah aku rasakan kenikmatan sepertri ini, maukah kamu membantuku lagi atau memuaskanku lagi? kalau perlu kita harus selalu pagi-pagi ke sumur siapatahu kita dapat kesempatan melakukannya lagi, nikmat sekali khan, mau khan Sarmali?”. Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan mamanya Harni padaku di pagi itu sebelum kami berpisah.

Tentu saja kami saling senang dan meng-iyakan bahkan saling mencium pipi sebagai tanda kasih sayang, apalagi kami telah saling memberikan kepuasakan yang luar biasa, yang tidak berbeda nikmatnya sewaktu aku bersetubuh dengan Harni anaknya sendiri di bawa meja, hanya kesannya yang berbeda. Sebab satu dilakukan di bawah meja dan satu lagi dilakukan di lantai cucian sumur. Betul-betul kenikmatan di balik lantai cucian sumur tua.




No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here