Perjanjian Di Masa Depan Bersama Diri Mu
“Hmm… cewek yang unik” ujarku dalam hati sembari memperhatikan dia berjalan lalu aku baca kembali novel dalam genggaman ini.
Awalnya biasa, tapi lama–kelamaan perasaan biasa ini berubah menjadi perasaan mengagumi. Setelah terlibat dalam satu kelompok, mengalami kejadian konyol bersama, dan setelah satu semester berlangsung rasa kagum itu berkembang biak seperti virus yang menularkan penyakit menyukai sebagai lawan jenis.
“Dani! Hari jum’at Sofi ulang tahun, kamu mau ngasih apa?” Pertanyaan temanku itu membuat jatungku berhenti sejenak dan imajinasiku yang menyenangkan berubah menjadi hitam pekat tanpa cahaya sedikit pun. Sekejap terlintas sebuah kalimat yang langsung terucap begitu saja.
“Boneka mungkin?”
Suasana tiba-tiba menghening.
“Ya, boleh-boleh. Entar hari sabtu kita siapin kejutan bareng anak–anak lain.” ucapnya sambil memberikan sebuah sampah tak berguna dan pergi begitu saja.
“HEY!”
Hanya dengan waktu empat hari aku harus mendapatkan sebuah hadiah dengan keadaan ekonomi yang sedang turun drastis. Ini adalah pertama kalinya tanda tanya yang besar menampakan diri di otak dan terus memberikan kebingungan tentang hadiah yang pas untuk seorang wanita yang telah memunculkan perasaan suka yang tumbuh dari hati, lalu ke otak, lalu menghantarkannya ke semua indra dan membuat semuanya menjadi indah.
Pertanyaan yang sama terus kulontarkan ke semua sahabatku yang sudah berpengalaman, “apakah memberikan boneka untuk seorang cewek itu wajar atau berlebihan?” Itulah yang selalu kutanyakan dan mereka selalu menjawab, “Wajar-wajar saja.” Tapi tetap saja aku merasa ragu dan terus meragu hingga hari dimana aku berangkat ke Pusat Perbelanjaan untuk membeli semua kebutuhan yang diperlukan di hari Sabtu. Berdiri dan menatap dalam diam terfokus pada satu boneka yang tersenyum manis seolah merayuku untuk membelinya. Boneka itu, serupa bentuknya dengan gantungan tas Sofi. “Apakah itu tokoh kesukaan dia?” Masih bertanya dalam kerguan meski hati kecilku berkata untuk membelinya. Pada akhirnya, boneka itu menjadi pilhanku setelah bertanya dan memikirkan tentang harganya. Tapi tetap saja aku merasa ragu dan bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Bersama dua teman dekat dia, aku berangkat mencari barang-barang lain yang diperlukan. Kaki terus bergerak maju tapi menatap terus menatap kresek berisi boneka alien besar berwarna biru yang bernama Stitch. Sesampainya di toko kue dan peralatan pesta,
“Apakah di sini tidak ada lilin yang susah untuk dimatikan?” tanyaku sembari memperhatikan setiap rak dengan jeli.
Sejenak mereka tak bergeming karena kebingungan dengan pertanyaan yang ku beri. “Maksudmu apa sih?” tanya mereka berdua hampir bersamaan.
Sembari menggaruk kepala kujelaskan kembali apa yang kumaksud. Tapi tetap saja mereka masih kebingungan dan kebingungan itu menular kepadaku. Kita bertiga pun larut dalam kebingungan. Sampai pada akhirnya, aku menemukan apa yang kutemukan dan mereka baru mengerti apa yang kumaksud.
“Aku duluan ya Dani!” teriak temanku sembari melesat dan menyatu dengan pemandangan keramaian jalan raya. Aku pun melesat dan menghilang
Bulan pun pergi menjemput mentari dan memintanya untuk menyambut pagi yang dingin. Dengan sinarnya yang menyilaukan, yang menembus celah daun lalu memasuki jendela dan menusuk mataku yang terasa berat untuk dibuka mentari membangunkanku. Menikmati kasur dulu sebelum pergi mandi itu adalah tradisi burukku. Setelah semua terasa cukup aku bergegas ke kamar mandi. Semangat pagi untuk menyambut hari sabtu yang spesial bagiku, juga mungkin spesial untuknya muncul dan kemudian menghilang begitu saja ketika aku tersadar jam sudah menunjukan pukul tujuh dan itu artinya aku terlambat sekolah.
“Oh God why? Mau bilang apa nih ke semua penghuni rumah? Pura-pura sakit? Entar sakit beneran.” otak yang masih membeku ini, terus dipaksa untuk berpikir mencari sebuah asalan yang cocok. “Aaaah! Bilang aja sekolah jam sepuluh!” bisik sisi gelapku.
Akhirnya, aku berbohong dengan cara itu. Detik-detik kebohongan telah terlewati. Saatnya menjalankan sebuah rencana. Hadiah, kue, dan dekorasi lilin sudah siap. Pesta kejutan akan diadakan di kamar dia. Dua orang temanku datang ke rumah dan mengambil hadiah dariku dan juga kue yang sudah didekor. Mereka langsung melesat ke TKP dan aku bersama Phantom motor kesayanganku melesat dengan kecepatan cahaya menuju ke sekolah untuk menahan dia agar tidak langsung pulang ke rumah.
Semua skill akting sudah dikeluarkan. Sebagian temanku sudah berangkat ke TKP hanya aku, dia dan temanku yang lainnya.
“Vie! Kamu tahan dia di sini, saya langsung ke rumahnya oke. Entar kamu nyusul! jelasku dengan berbisik.
“Siap Dan!”
Dengan kecepatan cahaya lagi aku melesat ke rumahnya. Berkali-kali aku hampir menabrak semua benda yang berada di hadapan ku. Mungkin aku terlalu panik dan terburu-buru. Namun semua itu tidak mengrungkan niatku untuk terus melaju dengan kecepatan tinggi. Jika sampai aku terlambat, semua akan menjadi percuma.
Semua sudah siap dan bersembunyi di tempat masing masing. Hari ini memang bukan hari keberuntunganku. Aku mendapatkan tempat persembunyian di atas lemari. Mungkin karena aku paling kecil di sini. Kepanikanku karena takut lemari ini rubuh bertambah ketika Ayah dan Ibunya memasuki kamar dan mereka memperhatikanku dengan tatapan yang tidak mengenakan.
“Dia datang!” ucapku sedikit berbisik.
Satu orang sibuk menyalakan lilin. Saking paniknya, dia sampai kesulitan untuk menyalakan lilin dan kejutan bersembunyi pun gagal total karena temanku telat kembali ke tempat persembunyiannya. Tapi tak apalah yang penting kejutan hadiahnya jangan sampai gagal. Semua larut dalam keceriaan dan kekonyolan bersama. Tiba saatnya tebak hadiah. Dengan peraturan “jika pemberi hadiah ketebak harus dipeluk” peraturan yang aneh. Semua hadiah sudah tertebak dan tiba pada hadiahku. Terdapat kesalahan dari hadiahku yaitu selembar kertas dengan sebuah kata-kata yang kubuat sendiri. Dan kesalahannya itu adalah tulisanku yang mempunyai ciri khas dengan bentuknya yang jelek. Belum lama ini, temanku ketika aku di bangku sekolah dasar dan bertemu lagi di SMA ini berkata bahwa tulisanku tidak berubah.
“Ah, ini pasti tulisan kamu ya Dan?” tanyanya sambil senyam-senyum.
“Mana? Diperiksa dulu tulisannya” ucapku gagap dan ku baca tulisanku sendiri sembari menutupi wajah yang sudah tidak kuat untuk tersenyum. Terlintas sebuah alasan agar hadiah ini tidak mudah ditebak, “bukan! Tulisan saya gak sebagus ini.” ucapku berusaha meyakinkannya. Dengan mudah dia percaya dengan alasan itu. Perempuan yang polos.
Detik, menit, jam, hari, dan bulan. Sepertinya tidak sampai sejauh itu. Detik, menit, dan jam berlalu. Dengan memakan waktu yang berjam-jam, dia berusaha menebak siapa pemberi boneka itu dan pada akhirnya, rahasia pemberi boneka Stitch sudah terbongkar dan dengan santainya, dia menawrkan pelukan kepadaku. Sekejap diriku ditelan kegelisahan dan wajahku mulai memerah, “tak perlu repot-repot.” dengan berat hati aku menolaknya karena perasaan suka yang memicu rasa malu untuk melesat dan meracuni pikiran. Tapi biarlah. Yang penting hadiahnya diterima dengan senang hati olehnya.
Ini baru mencapai hitungan bulan. Detik, menit, jam, hari, dan bulan berlalu. Perasaan ini semakin merajang tak tertahankan pertumbuhannya. Bagai api yang perlahan merambat melahap hutan. Aku tak bisa berhenti memikirkanya. Wajahnya terus terlintas di pikiran dan suaranya yang terus terngiang membuat perasaan ini semakin kuat. Haruskah aku mengungkapkannya atau aku biarkan begitu saja?. Tapi, aku harus mengukapkannya sebelum terlambat dan menjadi penyesalan. Kefanatikan ini memberikan kisah tersendiri untuk catatan akhir masa SMAku ini. Hasil akhir dari perundingan diriku dan diriku yang lainnya sudah putuskan. Aku akan mengungkapkannya dengan caraku dan aku ingin tidak tahu tentang rencanaku ini. Meski aku memilih cara yang sederhana, aku akan tetap melakukannya.
Rencana akan dilaksanakan pada hari Selasa siang dengan mengajaknya ke sekolah. Hari itu adalah hari bebas karena semua siswa kelas tiga telah melaksanakan UN. Sembari membaca sebuah novel, aku menunggunya depan koridor depan kelas. Tempat dimana anak-anak di kelas berdiam diri saat istirahat. Tampa menghiraukan sekitar, aku terus membaca dan mendengarkan musik. Bahkan teman sekelasku memanggil pun aku hiraukan hingga pada akhirnya dia memukul pundakku.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu!” ucapku berang sembari mengacungkan telunjukku ke arahnya. Sembari mengambil novelku yang terjatuh, aku bertanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Dengan langkah kecil, dia memutar lalu dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai tepat di depan posisi duduku tadi. “Aku sedang mengurus hal-hal yang perlu kuserahkan ke Universitas yang aku plih.” ucapnya. Sesaat dia melanjutkan sembari melamparkan sebuah roti ke arahku, “lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku lupa jika aku sedang melaksanakan misi rahasia. Jika dia tahu, maka semua tidak akan menjadi rahasia lagi.” ucapku dalam hati. “Aku sedang bosan berada di rumah. Aku sedikit merindukan-” belum sempat ku tuntaskan kalimatku, tiba-tiba dia muncul dan menyapaku dari kejauhan.
“Maafkan aku Dani, telah membuatnya menunggu.” dia sudah kehabisan nafasnya dalam perjalanan. Terlihat dari ucapannya yang terpotong-potong. “Aku kira kau sudah pulang karena terlalu lama menungguku.” lanjutnya.
Tiba-tiba temanku menghampiri dan berbisik dengan nada yang sangat jelas menghina kepadaku, “aku hanya sedang bosan di rumah.” lalu dia senyam-senyum tidak jelas.
Kuberikan sedikit tawa kepada Sofi untuk meredakan rasa grogi yang beecampur panik ini. “Aku juga baru sampai di sini.” kalimat kebohongan yang sudah basi. Tapi hanya itu yang ada dalam pikiranku.
Aku dan juga mereka berdua larut dalam obrolan yang panjang yang entah apa inti dari obrolan itu. Tak terasa matahari sudah mencapai barat dan kami melupakan tujuan masing-masing dan rencanaku gagal total karena orang itu tidak menyadari situasi. Tapi, kegagalan ini juga karena salahku yang tidak memberi tahu temanku dulu. Mungkin memang ini bukan waktu yang tepat. Pada akhirnya aku mengajaknya ke sekolah lagi pada hari Sabtu siang. Aku mengatakan padanya akan menunggu di atap sekolah, tempat biasa aku berdiam. Dengan alasan yang tidak masuk akal aku mengajaknya ke sekolah. Rencana yang kususun pada hari itu adalah, aku akan memperdengarkannya sebuah lagu yang pas dengan suasana hatiku saat ini. Lagu dari salah satu band favoritku yaitu J-rock dengan judul Fallin In Love. Kurasa itu lagu yang cocok. Setelah aku memperdengarkannya, aku akan mengutarakan semuanya. Mengutarakan apa yang telah menjadi rahasiaku kepadanya. Tapi sayang rencana ini juga gagal dilaksanakan. Ketika aku memperdengarkannya sebuah lagu dari earphone yang baru saja aku dapatkan, tiba-tiba saja dia terkena sakit perut dan kembali ke rumah. Untuk kedua kalinya aku gagal mengutarakan perasaan ini. Rasanya aku ingin menyerah saja dan membiarkan ini menjadi misteri. Tapi ku rasa menyerah bukanlah hal yang baik. Aku akan menunggu hingga saat yang tepat tiba.
Semua pasti ada waktunya itu memang benar. Aku mendapat kesempatan pada hari Senin. Ketika matahari akan mengucapkan selamat tinggal aku sedang berada di sekolah bersama dia dan rekan satu tim kerja film dokumenter kelas. Kami sedang melakukan pengambilan gambar untuk adegan dimana sang tokoh utama yang diperankan oleh Gilang sedang berkunjung ke SMA dimana ia menemukan jati diri. Pengambilan gambar dilakukan pada pukul tiga. Seharusnya pengambilan gambar ini dilakukan satu jam sebelumnya. Tapi karena aku terlambat datang, pengambilan gambar ini diundur. Pengambilan gambar adegan di sekolah berakhir. Semua rekan satu tim sudah memberi kesempatan agar aku dan Sofi bisa berbincang berdua. Tapi dia selalu menghindar seolah dia telah mengetahui apa yang akan terjadi. Rasa putus asa mulai muncul. Semangat api yang sebelumnya berkobar tiba-tiba padam tertiup angin keputus asaan. Perang batin pun dimulai dan pikiran pun mulai tidak karuan. Tapi semua itu berhasil teratasi berkat semua sahabat yang selalu mendorong dari belakang. Perasaan cangung menyeruap ketika aku berusaha mendekatinya. Memulai membangun suasana dengan membicarakan anime. Terlintas dipikiran sebuah pembukaan cerpen yang kubuat semalam.
“Eh! Semalam aku membuat sebuah tulisan, rencananya sih mau dibuat cerpen tolong koreksi ya.” sembari berusaha menatap matanya ku berikan secarik kertas berisikan,
“Meski sekejap, tapi itu memiliki kesan tersendiri buatku. Ketika pandangan kita saling berpapasan dan waktu terhenti walau sesaat di situlah aku menemukan hal yang berbeda. Sedikit samar perlahan berkumpul membentuk rasa. Kukira, hanya akan terjadi sesaat tapi ini terus berkembang tak tertahankan. Ragu tak kuucap dan kuharap akan tetap begini. Tapi semakin lama aku melihatmu dan memperhatikan sikapmu dari belakang tempat dudukmu, perasaan ini semakin tak terkendali, tak terbendung dan akan meluap mengalir kepadamu. Tinta hitam ini kan ku ubah menjadi lebih berwarna agar kau bisa melihat kisah juga rasa dalam tulisan ini.”
Selepas dia membaca dan mengembalikan kertas itu, dia terus berpikir dalam beberapa saat lalu ia berkata, “Aku tidak menyangka ternyata kau memiliki hobi menulis. Bagus kok Dani tinggal dikembangin lagi dan mengebangan kata dan kalimat dengan mencari refrensi dari buku lain.”
Sudah jelas jika pesan yang tersirat dari tulisan itu tidak tersampaikan.
“Sebenarnya itu khusus kutulis unrukmu. Bukan untuk dikembangkan menjadi novel, tapi itu khusus kutulis untukmu.” sembari menatap matanya yang menyinarkan cahaya kebingungan, aku jelaskan tujuanku membuat tulisan itu. Tapi tetap saja dia belum memahaminya atau mungkin saja dia mengerti tapi tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Suasana menghening ketika senja mencapai puncaknya. Semua tidak mengerti dengan apa yang kumaksud. Memang seharusnya aku mengutarakannya secara langsung dan jelas tanpa media apa pun. Dengan bahasa Jepang yang aku pelajari dari anime aku mengataknya. Jika diterjemahkan, kurang lebih seperti ini.
“Sofi, sebenarnya aku memiliki rasa untuk kamu. Bukan sekedar rasa mengagumi saja, tapi lebih. Tulisan yang kau baca itu khusus kutulis untukmu. Tulisan itu berisikan perasaanku selama ini.” kukembalikan kertas itu kepadanya. Dia terlihat begitu bingung dan kaget. Mungkin dia berkata dalam hatinya, “ini mimpi?”.
“Eeee… makasih ya Dani.” dia terlihat gelisah. “Lalu aku harus membalas apa utukmu?” tanyanya canggung.
“Sofi, aku tahu kau merasa bingung jadi biarkan aku menjelaskannya lagi.” kuberi sedikit senyuman agar suasana tidak terlalu tegang. Kemudian aku melanjutkan, “rasanya seperti aku ingin memilikimu, aku ingin terus bersama denganmu tapi di sisi lain aku tak ingin hal itu itu terjadi. Masih terlalu dini untukku melakukan hal seperti itu. Jadi jika kau tak keberatan, aku ingin kau menungguku hingga aku mencapai puncak tujuan hidupku. Setelah pendakianku telah mencapai puncak, aku akan turun dan mengajakmu melihat puncak yang kucapai.” semua sudah kujelaskan. Dia hanya terdiam sembari menundukan kepala tapi dia tidak marah, hanya saja dia tak tahu harus berbuat apa. Di sisi lain, teman-temanku yang menyaksikan ini mendadak histeris dan tidak menyangka jika aku akan melakukan hal ini. Meski begitu, semua berjalan lancar.
Dia belum mengucapkan satu patah kata pun untuk akhir dari cerita ini. Tapi aku tidak terlalu berharap biarkan dia dan Tuhan saja yang tahu. Semua ucapanku akan kubuktikan jika aku diberi kesempatan. Jika dipikirkan lagi, ucapanku itu terlalu berlebihan tapi memang betulah aku adanya. Semoga perasaan ini akan terus bertahan hingga jawaban dari semua misteri masa depan terungkap. Perasaan ini memecah dinding perbedaan dan menjadikan semuanya menjadi lebih indah. Dia mengenalkan dunia masa laluku yang sudah kulupakan. Dia, begitu, begitu berbeda. Terdapat faktor ‘x’ yang tak mudah tuk diartikan. Dunia itu memang berwarna.
Tiba-tiba, ketika suasana hening di telingaku dan dipikiranku sendiri,
“Aku pun sama Dani. Aku pun menyukaimu.” ucapnya pelan.
“Hah? Apa kau mengucapkan sesuatu?” tanyaku pura-pura tidak mendengar yang dia ucapkan.
“Tidak ada pengulangan untuk kalimat tadi!” ucapnya dingin. Perlahan wajahnya memerah. Tampak lebih indah karena wajahnya yang memerah bercampur dengan senja. Dia tersenyum karenaku. Melalui senyumannya itu, seolah ia berkata, “terimakasih untuk semuanya.” Di sore itu semua terasa sangat menyenangkan.
No comments:
Post a Comment