Aku tidak menyangka hari - hariku akan terasa sama, dengan ada atau tidaknya Papa-Mama di rumah
Aku sadar, merindukan kehadiran mereka. Rindu itu juga sudah terbayar dengan baik. Tetapi aku merasa tidak ada bedanya dengan hari - hari sebelumnya. Tidak seharusnya seperti ini. Ada yang salah dengan diriku, ada sesuatu yang ganjil tidak ku ketahui apa itu. Benakku enggan berpikir lebih dalam, mencari tahu.
Papa-Mama sudah tiba 3 hari yang lalu. Dengan membawa banyak oleh - oleh, barang belanjaan hasil buruan mereka selama di luar negeri, juga tak lupa mainan terbaru untuk Thomas. Thomas-lah yang paling bersemangat dan antusias dalam hal ini. Bukan karena oleh - oleh ataupun... demi membayar rindu yang membuatnya mengkal. Oleh - oleh adalah bonus wajib katanya. Sayangnya Thomas tidak mendapati sekotak coklat dalam kantong belanjaan.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Thomas dan aku berlari ke depan pintu, menyambut Papa-Mama begitu ia melihat mobil yang kami kenal terparkir di halaman rumah. Kami memberikan pelukan terhangat yang kami punya. Aku tahu dibalik semua itu, Thomas sedang susah payah menahan buncahan air mata agar tidak mengalir. Tidak ingin mengubah momen itu menjadi haru. Berusaha terlihat baik-baik saja, meski nyatanya itu tidak sepenuhnya benar.
Hari setelah kabar kepulangan Papa-Mama sampai ke telingaku, malam sepulangnya aku dari rumah Pak Vincent, Thomas jatuh sakit. Aku di bangunkan oleh rengekan Thomas tengah malam. Thomas berteriak dalam tidurnya, wajahnya berkerut, keringat dingin bergulir di mukanya yang merah. Barulah aku sadar ia demam tinggi ketika aku menempelkan tangan ke dahinya. Anak itu terbangun menatapku dengan nafas tersengal, lemas tak berdaya. Kami terdiam cukup lama. Hanya gerakan tangankulah yang mengisyaratkan bahwa aku cemas melihat keadaan Thomas.
Seusai aku membantu Thomas minum obat penurun panas dan mengukur suhu tubuhnya, anak itu kembali berbaring menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut. Matanya berpencar ke sembarang arah, kemana saja asal tidak bertemu dengan mataku. Ada hal yang ingin di ucapakan, aku tahu itu. Itu sebabnya aku menanti dengan sabar_terlebih aku masih harus menunggu termometer di mulutnya. Pipi Thomas memerah_ bukan hanya karena demam kali ini. Jari telunjuknya menggaruk - garuk seprei, mulutnya hendak membuka untuk bersuara. Ketika aku menoleh untuk mengalihkan perhatian memandang langit malam dari balik jendela, Thomas beringsut dari selimutnya. Anak itu merengkuh tubuhku, hawa panasnya bisa ku rasakan. Ia memelukku erat.
Thomas mencabut termometer dari mulutnya, "Aku rindu mereka, Kak. Sekali."
Aku paham apa yang di maksud dengan "mereka". Papa-Mama.
Suara Thomas terdengar serak, tercekat, susah payah menahan air mata yang mengalir tanpa adanya intruksi. Diam kembali menyapa. Mengiringi pelukkan hangat Thomas yang menghantarkan sejuta arti. Antara rindu dan sayang yang ia simpan baik - baik. Diam yang lama terasa lebih getir, lebih pahit untuk kucecap sendiri. Aku tahu apa yang tidak ia tahu, tapi aku adalah orang yang gagal untuk memahami perasaan Adikku. Masih banyak yang belum kulihat ternyata. Buta karena tenggelam dalam runtukkanku sendiri.
Sekarang aku bisa melihat Thomas tersenyum, akhirnya. Walau aku tidak menjamin itu akan bertahan lama. Thomas menatap Papa-Mama lamat - lamat, mecermati apa saja yang mereka lakukan di ruang keluarga siang itu. Senyum simpul terbentuk dengan sendirinya di mukaku. Aku tahu, Thomas-lah yang paling bahagia saat ini. Dan aku hanya bisa menikmati semua itu dalam diam.
"Bagaimana sekolah kalian?" Papa mengambil suara, melirik ke arah aku dan Thomas. Di ruangan itu hanya ada kami bertiga, sementara Mama sedang ada di dapur menyiapkan camilan untuk mengobrol santai. Seandainya Mama ada di sini, mungkin pertanyaan (serius) itu bisa di tahan sampai makan malam. Karena aroma lemon jus dan popcorn bersalut mentega lebih menggiurkan dari pertanyaan ini.
"Baik Pa, aku mengerjakan tugasku dengan baik....." tentu saja Thomas yang paling semangat menjawabnya, menjelaskan panjang lebar. Aku tak memperdulikannya, sibuk dengan kotak kardus yang masih terbungkus rapi dengan kertas warna coklat di tanganku.
Papa tersenyum sejenak menanggapi Thomas, kemudian mengedikkan dagu ke arahku. Aku tahu apa maksudnya.
"Baik juga Pa..."mau tak mau aku menjawab, yang artinya percakapan ini akan semakin panjang dan terfokus hanya padaku. Thomas memincingkan matanya padaku, marah karena perhatiannya di sita begitu saja.
"Bagus, kamu harus mempersiapkan semuanya dengan baik."Papa mengangguk - angguk, puas dengan jawabanku.
Aku benci Papa bila sudah membahas soal ini setiap pulang ke rumah, membahasnya lagi dan lagi. Aku belum siap meninggalkan kota ini, meninggalkan semua yang ada. Tidak untuk saat ini.
"Kamu jangan kecewakan Papa, Andrew. Papa berharap besar padamu."
"Iya."aku memaksakan diriku untuk tersenyum.
Tak ingin percakapan ini lebih panjang lagi dan tatap Thomas semakin membunuh, aku memilih beranjak. Meninggalkan ruang keluarga, yang berubah menjadi lenggang. Bahkan aku malas menonton film bersama mereka untuk saat ini, tidak juga menanti segelas lemon jus buatan Mama yang akan menghilang rasa hambar di lidahku.
*********
Bagaimana semua ini akan berakhir, terkadang batinku bertanya - tanya. Rasa bosanku dengan semua ini, serasa tidak akan ada ujungnya. Aku berbaring menatap langit - langit kamarku, kemudian memejamkan mata. Udara hangat menyapa, masuk melalui jendela yang terbuka. Membawaku dalam lamunan panjang, yang seolah waktu berhenti berputar begitu saja. Ku hitung semua apa yang telah terjadi dalam hidupku, hal - hal apa saja yang membuat hatiku tak tenang.
Permintaan Papa, aku tak yakin bisa memenuhinya. Aku takut aku tak sanggup. Tidak ingin rasanya aku memaksakan diriku untuk memenuhi pintanya, walau aku sanggup sekalipun. Berat untukku. Untuk saat ini bahkan aku tidak ingin memikirkannya. Tetapi aku sadar permintaan itu tetap harus dan akan terpenuhi begitu waktunya tiba. Benar - benar sekarang ini bukanlah saat yang tepat. Hanya karena embel - embel harus menjadi penurut dan membuat "Papa bangga, orang tua bangga" aku harus memenuhi permintaan itu, dan meninggalkan jalan yang ingin ku pilih. Permintaan orang tua terhadap anak, sering kali menyiksa.
Lantas aku membuka mataku, berusaha menyadarkan diri sendiri bahwa memang tak ada pilihan lain. Inilah kenyataannya, aku harus memenuhi pinta itu. Aku bangkit mencoba menenangkan diri, tidak siap menerima hantaman ini. Kemudian pandangaku terlempar ke kertas - kertas yang tertumpuk rapi di atas meja. Kertas -kertas kosong amunisiku dan surat - surat yang sudah menyampaikan ribuan kata, membuatku terperanjat. Indahnya semua itu saat mataku melihat surat - surat Alice tergeletak di sana terpapar sinar matahari dari jendela sambil sesekali di gerakan tiupan angin. Semua itu bisa membuatku tenang, tersenyum setiap membacanya kembali. Juga membuatku lupa akan kebosanan yang aku lalui di setiap harinya. Gadis itu membuatku lebih berwarna. Alice membuatku tidak lagi menjadi abu - abu.
Aku mengambil salah satu surat yang tergeletak di sana. Tulisan Alice, lagi - lagi menggugahku untuk membacanya kembali. Entah sudah surat yang keberapa_ barangkali sudah ke-5 kali kita berkirim surat. Lalu, suara lirih kicau burung di luar sana, menyadarkanku dari hening yang tercipta. Ku raih pena dan dan kertas kosong di meja itu kemudian meringkuk di sofa.
Angin berhembus lagi, hangat musim panas terasa. Aku tahu apa yang harus aku tulis, apa yang hari ini ingin aku utarakan kepada Sang Dewi. Maka, pena itu mulai menggores kata - kata. Banyak yang ingin aku tulis di suratku kali ini, dan aku harap dia mengerti apa yang kumaksud. Dia seperti sebuah keajaiban yang hadir untuk menjadi penghiburku. Luka yang baru saja ku keluhkan, sekejap terlupa begitu aku teringat Alice.
Siang itu semua berlalu dengan baik, tak ada lagi hari sial atau hari membosankan. Semakin lama semakin menumpuk hal apa saja yang ingin aku sampaikan padanya. Aku percaya Alice, aku percaya akan berhasil menjadi pemenang dalam taruhan yang ku buat sendiri. Sorenya, aku menyelinap ke taman labirin skala kecil milik keluargaku. Memberikan surat itu ke Luffi setelah mereka kuberi makan. Tempat ini cukup aman, tak ada reaksi Papa akan bersin hingga bertanya, "Apa ada yang menyembunyikan burung di rumah? Andrew apa kamu sedang menyelamatkan burung liar yang terluka?" Pertanyaan yang sama dari Papa setiap kali bersin hebat. Memikirkannya membuatku sedikit kesal sekaligus ingin tertawa, karena Papa berucap sambil bersin - bersin hingga suaranya lucu untuk di dengar.
Lufi kemudian terbang, menerobos langit senja. Ku pejamkan mata membiarkan semua nikmat senja kembali membelaiku.
No comments:
Post a Comment