Di Lantai Lima Aku Bertemu Dengan Dia Dan Di Lorong Itu Pelan Pelan Aku Mulai Jatuh Cinta Padanya
Apa kau pernah merasakan jatuh cinta? Pasti sudah, hm… kalau merasakan perasaan yang mengumpal, tersimpan begitu rupa tapi tak tahu bagaimana cara mengungkapnya, apa kau tahu juga rasanya? Mau aku ceritakan secuil cerita tetang ‘itu’, rasa yang mengumpal-gumpal tapi hanya tersimpan, setiap detik ingin melihatnya, tapi tak pernah benar-benar sanggup menatap matanya.
Hari itu hari pertamaku masuk universitas, panggil saja namaku Senja. Kenapa senja? Karena aku paling suka saat itu. Senja saat langit seolah bingung antara warna jingga, merah atau putih saja. Bingung antara tak mau meninggalkan siang tapi ingin cepat-cepat memulai malam, itulah senja. Hampir sama seperti perasaanku saat ini. Bingung.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Kembali ke cerita, kalau tidak salah ingat itu hari senin beberapa bulan lalu. Pertama kalinya waktu mengenalkanku dengan sebuah senyum yang aku pikir saat itu, itulah yang namanya ‘senyum malaikat’. Ini hadiah manis dari waktu. Awalnya aku merasa cukup dengan menyimpannya saja, tapi lama-lama rasanya mulai berbeda…
Saat itu aku berlarian di koridor panjang dan gelap lantai lima kampus bercat abu-abu itu. Lantainya berwarna hijau lumut dan hanya ada deretan kelas tertutup dengan pintu yang sama semua, bercat warna kayu, kecuali pintu di ujung lorong. Pintunya dari kaca tembus pandang besar. Karena jarum jam di arlojiku terus mengingatkan kalau aku sudah sangat-sangat telat, jadi aku pun tak lagi memperhatikan jalan. Aku terus saja berlari mencari-cari ruang tujuh di lantai lima ini. Mataku terus mengitari, menyusuri tiap pintu mencari angka tujuh.
Dan, BRUK!
“Aauuu..” aku terjatuh duduk. Mungkin kalau di film kartun sudah banyak bintang kecil yang mengelilingi kepalaku, mataku seolah bisa melihat malaikat maut berdiri di depanku dengan jubah, eh, bukan tapi kemeja hitamnya. Ah, kepalaku pening. Beberapakali mengucek mata baru aku kembali ke alam nyata.
“Maaf, kamu gak pa-pa?” sebuah tangan mengulur memintaku mengamitnya.
Aku memutar pandangan, ternyata pintu kaca besar itu yang berhasil menghantam keningku eh wajahku, tanpa ampun L buruk kan? Dan Si cowok itu ternyata bukan malaikat maut, senyumnya malah lebih mirip malaikat penjaga surga? Gak mungkin, aku udah langsung masuk surga aja, kan cuma karena kejedot pintu tadi? Ternyata dia adalah manusia yang baru saja keluar dari ruangan yang dibatasi pintu kaca itu.
“Kamu gak pa-pa?” dia mengulangi pertanyaannya, kali ini tanpa mengulurkan tangan. Dia berjongkok di depanku. Matanya lurus menatapku.
Aku menggeleng cepat, mengumpulkan semua tenaga dari otak ke kaki untuk kembali berdiri. Tanpa satu kata pun berhasil keluar dari kerongkonganku aku berlari sejadinya. Hei, aku masih harus mencari kelas baruku kan?
Ku sempatkan menoleh ke belakang setelah sampai di ujung lorong (tapi pintu itu masih terlihat karena lorong itu benar-benar lapang tanpa penghalang). Dan… aku melihatnya masih melihat ke arahku. Lagi-lagi mata kami bertemu. Bukan cuma itu, jantungku tiba-tiba beberapa detik tadi serasa tak berdetak.
Lagi-lagi kesiangan, ya apalagi masalah yang nyebabin kesiangan selain jam weker rusak pasti macet. Aku setengah berlari menuju kelas.
Tapi sampainya di depan kelas, “Eh, kok pada keluar sih?” aku celingukkan saat sampai kelas teman-teman malah membawa tas mereka satu-satu keluar kelas yang biasanya kami pakai tiap hari rabu, di lantai empat.
“ya, ACnya mati. Tau kan Bu Uci gak suka panas, orangnya bawel banget. Makanya nyuruh kita-kita pindah ke kelas di ruang 10 lantai lima yang ada ACnya. Kebetulan kelas itu lagi kosong.” Riry menjelaskan panjang lebar setelah berhasil aku cegah keluar kelas.
“Oke, thanks ya, Ri? Nanti gue nyusul deh.” Euh, masih cape banget, tadi liftnya penuh karena takut telat maksain naik tangga. Eh, what the hell! Dosennya malah ke lantai lima.
Sampai juga di lantai lima, aku mengatur napas sambil masih jalan pelan-pelan.
Huppptt…! Jantungku hampir ngerem mendadak lagi. Kau tahu apa yang kulihat barusan? Si cowok yang hari pertama itu. Kami hampir saja tabrakan ala cerita roman jaman dulu. Tapi gak, langkahnya lebar-lebar dan melewati sampingku. Aku merasa tadi mata kami tetap bertemu. Apa dia merasa juga? Jantungku malah terasa 100 kali lebih cepat dari biasanya. Tanpa sadar aku terbengong menatap punggungnya yang makin menjauh, seolah tertelan gelap dalam lorong itu.
Aku meneruskan langkahku ke ruang sepuluh. Pikiranku penuh dengan dia. Ah, dia mana ingat denganku yang hampir mati karena melihat senyumnya hari itu. Eh, maksudku karena dia hampir saja membunuhku dengan pintu kacanya itu. aku baru ingat ini lorong yang sama. Oh, Tuhan bagaimana bisa dia tidak ingat sedangkan aku sedetik pun episode hari itu tak ada yang luput dari otakku…
“Hari ini praktikum kan?” tanyaku pada Riry, kami bertemu di area parkiran. Aku cepat-cepat mengunci mobil jazz putihku dan Riry baru keluar dari jaguar hitamnya, diantar sopirnya.
“Ya, ke lab bareng ya?” Riry langsung mengait lenganku menuju pintu masuk utama kampus abu-abu ini.
Ternyata laboratoriumnya di lantai lima. Lagi-lagi lantai lima… di sana sudah banyak teman sekelas yang lain, menunggu pintu laboratorium terbuka. Tak lama seorang cewek dengan kotak ATK (sepertinya dia si kakak asisten) membukakan pintu kaca besar—yang pernah menganiaya wajahku itu—dan menyilahkan kami masuk.
Aku memilih duduk di depan, supaya lebih ngerti. And… you know what… lagi-lagi waktu membuatku lupa cara berkedip. Cowok itu kini dengan kemeja lengan pendek warna merahnya. Entah ini sudah berapa kalinya dia selalu berhasil (sengaja atau tidak) memainkan aliran darahku.
“Senja, komputernya nyalain. Udah mulai tuh prakteknya. Lo bengong aja sih? nanti gak ngerti loh.” Riry menepuk pundakku mengantarku keluar dari lamunan beberapa detik tadi. Hei, si kemeja merah sedang memberi salam di depan kelas laboratorium. Jantungku makin tidak bisa diam. Bahaya kalau sampai dia yang jadi asisten tutornya, yang ada aku gak meratiin pelajaran tapi malah meratiin dia. J
Apa dia benar-benar tidak ingat denganku? Tidak ingat namaku? Apa lagi dengan kejadian hari senin waktu itu? Pikiran itu makin banyak menumpuk dan bergumpal dalam otakku. Hhh… memang aku siapa sampai dia harus ingat namaku? Tapi di lab hari itu dia mengabsen dengan memanggil satu-satu nama mahasiswa/mahasiswi, apa dia tahu aku sangat berdebar saat gilirannya menyebut namaku? Apa dia merasakan juga?
“Senja, lo bengong melulu sih belakangan? Tuh sotonya keburu dingin. Makan dulu!” Riry mendekatkan piringku yang masih utuh nasinya.
“Tau tuh senja kenapa sih? dapet ya?” sekarang giliran Tasky, cewek berambut mirip giring nidji. Kami bertiga udah mirip trio kwek-kwek (mau bilang trio macan, tapi terlalu gimana gitu… J) kemana-mana bertiga berawal dari tempat duduk kami yang sering bersebalahan di kelas.
“Gak pa-pa, kayaknya gejala sariawan” kataku beralasan. Ditanggapi anggukan Tasky dan Riry.
“Eh omong-omong, kakak asisten yang kemaren ngabsen. Cakep ya?” Tasky hampir menghabiskan milk shake yang mengisi gelasnya.
“Namanya ka Fion.” Riry menyedot es jeruknya.
Sendok yang hampir masuk ke mulutku berhenti di udara mendadak mendengar obrolan dua temanku itu. namanya siapa…? Fion?
Pekerjaan bodoh, buat apa coba sudah hampir dua puluh menit aku duduk di pojok lorong, berpura-pura asik dengan isi buku warna ungu di tanganku, padahal satu alenia pun aku tak mengerti isi buku di tanganku ini.
Siapa tahu, tiap dua menit mataku melirik ke arah pintu kaca besar di samping itu, menunggu sesosok yang keluar dengan langkah khasnya. Kadang berharap sedikit muluk, dia akan mentapku lalu menyebut namaku, menghampiriku dan bilang… I love you. Oh my, ya aku tahu, yang terakhir terlalu muluk J
“Masuk, ada dosen!” Tasky dengan rambut gimbalnya menyembul dari pintu kayu besar di depanku ruang 10, tangannya melambai ke arahku. Aku berdiri gak rela dan berusaha rela meninggalkan acara menunggu gak jelas itu dan masuk ke dalam ruangan. siap dengan dongeng dua jam dosen berkacamata di bawah hidung itu. euh… padahal aku ingin melihatnya hari ini. Kau tau, aku sudah dandan level tujuh pada hari ini? Untuknya, cuma untuknya. Padahal aku harusnya tahu bahkan kalau pun bertemu dia takkan sadar aku sempat mewarnai bibirku hari ini. Ya, tampaknya sia-sia. Padahal kelasku dan ruangan berkabel-kabel itu hanya dibatasi sebuah dinding tebal dan pintu kaca besar. Tapi serasa dibatasi lima belas lantai.
Sudahlah… mungkin belum waktunya… seolah cicak di dinding itu tengah mencoba menghiburku.
Hari ini benar-benar hari merdeka, tidak satu dosen pun yang masuk ke kelas. Memang sih hari ini cuma ada dua matakuliah dan dua-dua dosennya absen, cuma ada tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan hari ini juga. Walau pun gak ada dosen tetap aku dan teman-teman berusaha betah di kelas dengan lima buah soal esay yang minta cepat-cepat diberi jawaban.
“Udah beres Ky?” aku bertanya pada Tasky yang tampaknya sudah selesai, dia asik dengan laptop mini warna merahnya. Aku melirik sebentar, lagi chatting.
“Udah, gue nyontek jawaban Riry,” katanya tanpa melepas matanya dari layar laptop.
“Gue juga udah, nanti mau istirahat atau langsung pulang?” aku menarik kursi kosong dan duduk di samping Tasky.
“Tadi sih Riry ngajak ngerjain laporan praktikum bareng. Nah makanya gue bawa Lepy,” Tasky menunjuk laptop mini merahnya sambil me-logout aplikasi chattingnya.
“Sama Riry?”
“Iya dia malah udah duluan ke lantai lima. Kita ngerjain tugasnya di sana aja ada wifii, kalo ke mall lagi pada bokek.” Tasky memasukkan laptopnya ke tas jinjing bermotif doraemonnya dan siap-siap beranjak. Aku mengambil tas dan mengikuti Tasky keluar ruangan.
Di lantai lima, tampak Riry. Tapi Riry tidak sendirian, ada seorang cowok dengan rambut mirip duri-duri landak mencuat ke mana-mana.
“Ry,” dari ujung lorong suara Tasky pasti terdengar nyaring sampai ke tempat Riry duduk di depan ruang tujuh lantai lima.
Riry melambai ke arah kami, aku dan Tasky mempercepat ke arah sana.
“Eh, ya udah gue ke lab ya, ada urusan.” Kata si cowok rambut landak.
Tapi Riry menarik ujung kemejanya, “oi, ada si ka Fion di dalam?”
“Ada, kenapa?” si cowok berambut landak itu memelankan langkahnya sejenak menoleh lagi ke arah Riry. Jantungku hampir aja mengerem mendadak tak terasa saat nama itu tersebut.
Riry menggeleng, dan si cowok itu meneruskan langkahnya masuk ke dalam lab.
Ihh Riry ngapain sih nanyain ka Fion? Bagian ujung hatiku tampaknya tak rela. Tapi apa daya aku pun gak bisa bilang bahkan sama dua sahabatku ini kalau aku.. maybe, I’m falling in love with him.
Kalau dikerjakan bersama tugas memang terasa lebih asik dan cepat selesai. Itulah perlunya gotong royong. J
“Eh pinjem bentar dong, mau ngecek email.” Aku menepuk pundak Tasky sambil melirik ke arah laptop mini merah yang diletakkan di lantai.
“Please, pake aja kali. Masih kaku aja.” Tasky mengerlingkan matanya usil. Aku cuma tersenyum kecil lalu menggeser laptop ke hadapanku.
Tapi saat sedang asik membaca-baca email masuk, mataku menangkap sesuatu. Sebuah wajah kebingungan berdiri di depanku. Tasky asik dengan ipod barunya, sedangkan Riry sedang merapihkan alat tulisnya ke tas.
Mataku dan mata orang itu bertemu tanpa diundang. Beberapa detik tadi seolah paru-paruku tidak berfungsi. Satu kata pun tak bisa meluncur dariku saat itu.
Tolong.. jangan tangkap mataku seperti itu, seolah bulu mataku berteriak-teriak.
“Ada apa?” matanya tak lagi tertuju padaku, tapi pada Riry (ah, itu yang kurasakan, entahlah…)
Tapi malah Tasky yang menjawab, “gak ka, biasa ngabsen aja.” Tasky tertawa renyah dengan gaya khasnya.
Mungkin dia memang arah bertanyanya pada Tasky, atau matanya ke arah Riry, yang pasti rasanya bukan bertanya dan melihatku barusan. Tapi sampai detik ini, selama dia masih berdiri dengan jarak dua langkah dariku, aku masih belum bisa merasakan letak paru-paruku. No…!
Aku melihat wajahnya terlipat bingung, matanya menyipit dan mulai menggaruk kepalanya yang aku rasa tidak gatal saat itu. Senyumku diam-diam mengembang tanpa diminta. Dia manis. Ya Tuhan… rasanya ingin menjerit dan bilang, I Love You… saat itu.
Benar-benar tidak enak menyimpan perasaan begitu rupa. Setiap detik cuma bayangan siluet wajahnya yang makin rajin mampir di setiap lapisan otakku.
Dengan tas selempang merah muda aku menuju ruang sepuluh lantai lima. Rasanya berdebar dan ingin bertemu selalu menyelimuti kalau melewati lorong lantai lima itu. Aku memegangi dadaku, mempercepat langkah menuju ruang sepuluh.
“Eh, itu dia orangnya. Panjang umur…” Riry setengah teriak saat tepat aku melangkah melewati pembatas pintu kayu besar ruang sepuluh.
“Ke…” ah beberapa detik suaraku tertahan, aku menelan ludah dengan ujung bibir yang gemetar, “kenapa?” mataku lurus ke arah Riry tak berani melirik sedikit pun ke sebelah kirinya. Jantungku bisa benar-benar berhenti lima menit. Mendadak merasakan kakiku mirip lilin meleleh yang kepanasan.
“Tau tuh, ada yang mau kenalan,” Tasky menunjuk wajah cowok berkemeja biru toska bergaris hitam yang berdiri di samping kiri Riry. Sejenak aku kumpulkan semua tenaga dan mencoba menatap cowok itu. Fion… matanya masih sejernih biasanya. Cuma aku melihat guratan merah merona di pipinya.
“Kenalan?” kataku agak tertahan.
“Ah bukan, salah paham tuh,” dia menggibaskan tangannya melihat pura-pura kesal ke Tasky dan Riry bergantian, lalu mencoba menangkap mataku, “Senja, kita udah kenal kan?” tanyanya padaku, senyum malaikatnya mengembang seolah itu hanya untukku. Membuat seolah waktu di sekitarku berhenti berdetak dua detik dan samping-sampingku berubah menjadi taman bunga warna-warni. Bahkan aku tak pernah berani berkhayal dia tau namaku apa lagi mengingatku. Tapi barusan dia menyebut namaku. Ini lebih indah dari mimpi-mimpiku. Sungguh… J
Ini pasti awal yang baik kan? Apa waktu dan Tuhan tengah menjawab doaku pelan-pelan? Hati kecilku berbisik aku masih belum bisa bilang apa-apa.
Senja, jangan muncul sayap sekarang lalu terbang… jangan…!! Dinding abu-abu seolah mencoba menyadarkanku… tapi sungguh ini bukan mimpi…
Di lantai lima aku bertemu dengannya dan di lorong itu pelan-pelan aku mulai jatuh cinta…
No comments:
Post a Comment