Entah apa yang terjadi. Entah ini memang takdirku. Entah ini sebuah karma. Yang jelas ini cukup menyiksaku ya Tuhan
Semuanya ini berawal ketika aku masih berada di kelas 9. Hari senin pagi. Seperti biasanya, sekolahku melaksananakan rutinitas wajib. Upacar bendera. Tidak ada yang berbeda selama pelaksanaan upacara berlangsung. Semua berjalan dengan lancar. Bahkan semuanya lebih tertib dari senin sebelumnya.
Entah apa yang terjadi. Entah ini memang takdirku. Entah ini sebuah karma. Yang jelas ini cukup menyiksaku. Pada saat menghormat bendera, tiba-tiba saja tanganku terjatuh dari kepalaku. Tubuhku menjadi lemas. Aku tidak bisa mengangkat tanganku lagi. Tubuhku menjadi kaku. Aku berusaha untuk menaikkan tanganku agar guruku tidak memarahiku. Tapi apa dayaku? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai akhirnya air mataku turun dan aku terjatuh begitu saja. Semua teman-temanku langsung memandangku. Aku menunduk. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ini benar-benar menyedihkan.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Orangtuaku bukanlah orang yang tidak mampu. Bahkan, bisa dibilang hidupku ini sangat berkecukupan. Apa saja yang aku minta, pasti orangtuaku membelikannya. Aku anak tunggal dari keluarga yang cukup berada. Aku bisa memiliki benda apa saja yang ingin aku miliki. Tapi hanya satu yang tidak bisa aku miliki, perhatian dari orangtuaku.
Kadang aku berpikir, buat apa aku miliki semua benda mewah ini kalau aku tidak bahagia? Orangtuaku sering berpergian keluar negeri ataupun ke luar kota. Jarang sekali mereka memberikan waktu untukku. Bahkan untuk makan malam pun, kadang mereka tidak bisa. Terlalu banyak pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Aku tau mereka melakukan ini semua untukku. Tapi aku tidak membutuhkan ini.
Sering kali aku menangis ketika aku terjaga dari tidurku. Ku lihat foto-foto yang mengingatkanku pada masa kecilku. Dulu, waktu aku masih kecil. Mereka berbeda. Mereka memberikan semua kasih sayang mereka padaku. Ibuku memang dinyatakan tidak akan bisa mengandung lagi. Itulah sebabnya mengapa mereka sangat memanjakanku. Tapi terkadang, aku merasa kesepian ketika orang tuaku sedang berpergian. Kadang aku hanya ditemani oleh asisten ibuku. Dia orang yang baik. Dia sudah bekerja dengan ibuku sejak aku masih berumur 3 tahun. Dia orang yang perhatian. Bahkan, dia lebih perhatian dari ibuku sendiri.
***
Malam ini aku harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksa keadaanku. Apakah penyakit ini semakin membaik atau bahkan sebaliknya? Tapi malam ini orangtuaku membatalkan penerbangan mereka karena menurutnya, pekerjaannya lebih penting dari anaknya. Terpaksa aku pergi dengan asisten ibuku. Selama diperjalanan, aku hanya diam. Lebih tepatnya merenung. Ku pandang pemandangan dari kaca mobil. Ternyata aku masih lebih beruntung dari mereka. Mereka bahkan harus bekerja sendiri untuk mengenyangkan perut mereka. Apakah orangtua mereka tidak peduli? Setidaknya, aku merasa lebih beruntung walaupun aku penyakitan, tapi aku mempunyai orangtua.
Semenjak 1 tahun yang lalu, rumah sakit menjadi salah satu tempat yang aku benci. Aku tidak suka berada di tempat ini. Banyak tangisan anak-anak. Tidak ada kebahagiaan di tempat ini. Apalagi orang yang kita cintai tidak ada disini.
Aku berjalan perlahan ditemani asisten ibuku. Menuju ke ruangan dokter spesialis kanker otak. Aku merasa aku orang yang lemah ketika tubuhku dibalut jarum suntik. Ketika aku harus berjalan menggunakan tongkat ataupun kursi roda. Kakiku kaku. Tidak bisa digerakkan sama sekali. Aku selalu berharap ketika aku bangun, semuanya akan berubah. Tapi ternyata ini lebih dari sekedar sebuah mimpi buruk. Inilah hidupku. Bagaimana pun juga, aku harus menjalaninya semampuku.
Sebenarnya aku masih sedikit lebih beruntung dari pengidap kanker otak lainnya. Aku masih bisa berbicara walaupun terkadang bibirku terasa kaku. Rambutku memang selalu rontok, tapi setidaknya aku masih mempunyai rambut. Darah juga sering keluar dari hidungku. Tapi tidak terlalu banyak. Aku juga lupa dengan nama-nama teman dekatku karena sudah 1 tahun lebih aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Tapi terkadang ada beberapa temanku yang datang menjengukku. Mereka sungguh baik, bukan? Meskipun aku mengingat mereka hanya samar-samar. Tapi mereka masih mengingatku. Aku bersyukur bisa mempunyai teman seperti mereka.
Minggu depan aku akan mengikuti kemoterapi lagi. Aku tau ini menyiksa. Tapi ini semua demi kebaikanku. Hari ini aku cukup senang karena dokter mengatakan kondisiku sedikit membaik. Walaupun hanya sedikit, setidaknya aku membaik. Aku mencintai hidupku.
Saat aku masih berumur 7 tahun, aku dan teman-temanku bermain bola basket di lapangan dekat rumah kami. Kami memang sering bermain di situ. Tempatnya nyaman dan lebar. Entah apa yang terjadi. Saat aku lari ingin mengambil bola, aku terpeleset dan kepalaku terbentur ke lantai lapangan. Saat itu aku menangis cukup keras. Tapi setelah orang tuaku memijat-mijat kepalaku. Itu membuat kepalaku sedikit membaik. Aku tidak pernah memeriksanya ke dokter, karena aku pikir itu hal yang biasa.
Dan karena kesepeleanku ini, aku harus menanggung semuanya ketika aku berumur 13 tahun. Memang semenjak kejadian itu, kepalaku sering pusing ketika aku melakukan hal-hal yang berat. Kupikir ini hanya kecapaian. Tapi inilah awal dari semua penderitaanku.
***
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku. Dengan bantuan asisten ibuku, hal ini terasa lebih mudah. Aku kembali teringat dengan sekolahku. Dengan teman-temanku. Dan juga dengan seorang lelaki special yang telah berhasil membuatku jatuh cinta. Aku benar-benar merindukannya. Aku masih ingat namanya. Steve. Lelaki ini berhasil membuatku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Dia memang tampan. Semua gadis di kelasku mengakuinya. Tapi mirisnya, ternyata dia sudah mempunyai pengisi hati yang berada di kota lain. Menurut kabar yang ku tahu, dia sudah menjalin hubungan dengan gadis itu cukup lama. Semenjak mereka kelas 7. Tapi sesuatu hal membuat Steve harus pindah ke sini dan bersekolah di sekolah yang sama denganku.
Pernah Steve datang menjengukku. Dia membawakan boneka beruang yang cukup besar. Sampai sekarang, aku masih menyimpan boneka itu. Bahkan tak jarang aku memeluk boneka besar itu. Membayangkan kalau itu adalah seseorang. Seseorang yang mencintaiku.
***
Malam ini aku tidak bisa tidur. Suasana rumah sudah sepi padahal jam masih menunjukkan pukul 9 malam. Aku memutuskan untuk pergi ke taman. Taman yang sering mendengarkan curahan hatiku. Aku membayangkan jika taman ini adalah seseorang. Maka aku harus sangat mencintainya karena dialah yang selama ini mendengarkan semua keluhanku. Aku sering pergi ke taman ini saat malam hari. Saat semua orang sedang berada di dunia mimpi masing-masing. Aku di sini, duduk termenung di taman ini. Merenungkan semua hal yang sudah terjadi di hidupku.
Aku duduk di bawah pohon yang cukup besar. Ku peluk kedua kakiku dengan kedua tanganku. Aku menatapi langit yang bersinar dengan indahnya. Sepertinya bintang-bintang sedang senang. Indah sekali cahaya mereka. Bulan juga memancarkan cahayanya dengan indahnya. Mereka semua bercahaya. Aku ingin seperti mereka.
Aku meletakkan tongkatku di sampingku lalu mengambil iPod kesayanganku. Ku putar lagu Bruno Mars-Talking To The Moon. Lagu ini menjadi salah satu lagu favoritku karena semenjak aku mengidap penyakit ini, aku lebih sering berbicara ke alam. Bukannya aku ini aneh atau gila. Tapi aku hanya perlu mengeluarkan semua yang mengganjal di hatiku.
***
Aku kembali ke rumah karena ini sudah pukul 10 malam. Aku takut kalau asisten ibuku memeriksa kamarku dan tidak menemukanku di sana. Aku mempercepat langkahku karena air mulai turun dari langit. Aku mencoba berlari, tetapi aku tidak bisa. Aku hanya berdoa semoga hujan ini bisa berhenti. Aku tidak mau kondisiku memburuk hanya karena tindakan bodohku.
Aku sampai di kamarku. Aku selalu lewat pintu belakang jika aku ingin pergi ke taman pada malam hari. Bajuku basah kuyub. Aku segera naik ke lantai atas, menuju ke kamarku. Sudah tidak tahan aku menggunakan baju basah seperti ini.
Aku sudah mencuci kepalaku. Dan juga mengganti bajuku. Saat aku ingin merebahkan badanku, tubuhku terasa seperti bergetar. Kepalaku pusing sekali. Seperti ada yang memukulnya dengan tumpukan buku yang sangat tebal. Aku memegangi kepalaku. Sambil meringis kesakitan. Aku menyesal pergi ke taman hari ini. Aku kemudian menangis karena sudah tidak tahan menahan sakit. Langit pun menangis melihatku menangis.
***
Aku terbangun dari tidurku. Kini badanku benar-benar tidak bisa digerakkan. Aku benar-benar menyesal. Ku dengar suara ramai dari lantai bawah. Aku pikir orang tuaku baru saja sampai di rumah. Dan benar saja, tak lama kemudian mereka langsung menuju ke kamarku. Aku merindukan mereka. Sangat merindukan. Aku lihat ibuku menitikkan air mata saat melihat keadaanku. Aku pun menangis. Bukan karena rasa sakit yang hinggap di tubuhku. Aku menangis karena aku bahagia masih bisa melihat kedua orangtuaku. Aku tidak menyangka. Ternyata mereka masih mengingatku? Mereka sudah pergi berbulan-bulan meninggalkanku. Sungguh aku merindukan kedua orang yang sangat aku sayangi ini.
Aku mencoba beranjak dari tempat tidurku. Ingin aku berlari dan langsung memeluk mereka. Tapi aku tidak bisa. Itu seperti saat kalian ingin meraih bintang, tapi kalian tidak bisa. Dan tak akan pernah bisa. Aku kembali menangis melihat orangtuaku menangis. Aku merasa kalau aku hanya beban bagi mereka. Mereka terlalu baik buatku. Aku mencoba untuk berbicara, tapi aku tidak bisa. Oh Tuhan, sebegitu menyeramkankah air hujan itu? Orang tuaku langsung mendekatiku. Mereka melihatku. Matanya sayu. Aku tahu mereka sangat sedih melihat keadaanku yang seperti ini. Aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Tapi… kucoba untuk mengepalkan tanganku. Dan itu berhasil. Ternyata tanganku masih berfungsi. Syukurlah.
***
Karena keadaanku semakin parah, maka kemoterapi pun dipercepat. Sebenarnya jika keadaanku tidak separah ini, kemoterapi akan dilaksanakan 3 hari lagi. Aku diangkat oleh ayahku ke mobil. Aku merindukannya. Terakhir kali dia menggendongku saat aku berumur 6 tahun.
Aku memeluknya erat. Ku harap ini bukanlah terakhir kalinya dia menggendongku. Aku membutuhkan mereka. Sangat membutuhkan. Dia menyenderkanku di bahu ibuku. Aku masih bisa duduk tetapi tidak bisa terlalu lama. Ibuku memelukku sambil menciumku. Dia memegang kepalaku. Mengelus rambutku. Dan banyak sekali rambut yang rontok. Aku melihat ibuku. Sepertinya dia ingin menangis tapi dia malah tersenyum dan menciumku.
Aku merasa lebih kuat dengan ciuman yang diberikan oleh ibuku. Aku merasa aku pasti bisa melawan penyakit ini. Aku akan berusaha dan semoga saja takdir tidak akan berkata lain. Aku merasakan tangan lembut ibuku mengelus pipiku. Betapa dia seperti malaikat. Dia cantik dan juga baik. Aku sungguh bangga menjadi anaknya.
***
Air mataku menetes ketika aku mendengar dokter mengatakan umurku tidak lama lagi. Ini bukan membuatku semangat, tapi rasanya aku ingin segera pergi dari dunia ini. Aku merasa semua pengorbanan orang tuaku sia-sia. Orangtuaku tidak tahu kalau aku mendengar semua pembicaraan mereka dari balik pintu. Pasti orangtuaku tidak akan menceritakan ini kepadaku. Dan tidak akan pernah. Untung saja aku mendengar semuanya. Meskipun ini menyakitkan..
Orangtuaku keluar dari ruang dokter. Mereka tersenyum. Mereka menyembunyikan ini dariku. Sudah aku duga. Aku tersenyum. Pura-pura tidak mengetahui apa pun. Padahal hatiku menjerit. Menjerit kuat sekali. Aku menangis. Kepalaku benar-benar sakit sekali. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Apakah sekarang sudah waktunya aku pergi?
***
Sebulan terakhir ini, aku lebih sering menulis pengalamanku di sebuah buku. Aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk mengendap-endap untuk pergi ke taman. Aku merindukan taman itu. Aku merindukan cahaya bulan dan bintang. Aku merindukan suara percikan air dari kolam yang ada di taman itu. Aku merindukan semuanya. Semuanya.
Siang ini aku hanya berbaring di kamarku. Dan asisten ibuku datang untuk memeriksa keadaanku.
‘Tolong bawa aku ke taman. Ku mohon…’ aku menuliskan itu pada selembar kertas dan memberikannya kepada asisten ibuku. Seorang anak gadis pengidap kanker otak sedang meminta permohonan. Bisa saja ini permohonan terakhirnya. Tidak tega juga untuk menolak permintaanku, maka dia segera memindahkanku ke kursi roda.
***
Taman ini tidak berubah. Semuanya masih sama. Aku tersenyum. Akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi. Aku membawa buku harianku dan sebuah pena.
Aku menuliskan sesuatu di atas kertas itu. Lalu aku meminta asisten ibuku untuk membelikanku sebuah balon. Kuplipat kertas itu lalu ku masukkan ke dalam balon yang berwarna biru itu. Warna kesukaanku. Dan langsung ku terbangkan balon itu. Kemana pun dia pergi. Aku yakin. Seseorang yang tepat pasti akan membaca kertas itu. Setelah berkeliling taman, aku dibawa pulang ke rumah, karena ini saatnya untuk meminum obat-obat yang mengerikan itu.
***
“Apa ini?” seorang anak laki-laki sedikit kaget karena ada sebuah balon berwarna biru masuk ke rumahnya. Dia ingin membuang balon itu. Tapi sepertinya balon itu berisi sesuatu. Karena rasa penasarannya, dia pun segera meletuskan balon itu.
Dan lipatan kertas langsung keluar dari dalam balon itu. Karena penasaran dengan apa yang ada di kertas itu, dia langsung membukanya. Membacanya.
“Berikan aku alasan mengapa aku hidup. Aku tidak tahu apakah aku berharga untuk seseorang. Aku tidak tahu apakah ada orang yang sedih jika aku pergi. Aku tidak tahu apakah ada seseorang yang menghabiskan waktunya untuk memikirkanku. Aku tidak tahu apakah seseorang selalu merindukanku? Merindukan tawaku. Merindukan suaraku. Merindukan diriku. Aku ingin bercahaya seperti bulan dan bintang. Bercahaya di antara kegelapan. Aku ingin dicintai meskipun keadaanku seperti ini. Aku tidak ingin dilupakan. Aku ingin seseorang mengenangku ketika aku telah tiada. Aku ingin seseorang mengatakan kalau dia mencintaiku dan tidak ingin aku pergi. Aku butuh seseorang untuk menyemangati hidupku. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku tersenyum ketika aku ingin menangis. Aku ingin seseorang menghapus air mataku, dan memberikan pundaknya ketika dia melihat aku menangis. Aku ingin seseorang menerima diriku apa adanya. Aku butuh penyemangat. Aku ingin sebelum aku meninggalkan dunia ini, ada seseorang yang mengisi hatiku. Dan mengijinkanku menjadi pengisi hatinya.”
Kertas yang berisi tentang curahan hati seseorang. Mungkin dia sedang dalam masalah. Lelaki itu memutuskan menyimpan kertas itu di laci meja belajarnya.
***
3 minggu kemudian.
Hari ini rumahku ramai sekali. Aku tidak tahu apa yang terjadi di bawah sana. Aku penasaran, ingin melihatnya. Tapi kursi roda diletakkan terlalu jauh dari tempat tidurku. Aku kepikiran dengan surat yang kutulis 3 minggu yang lalu. Apakah sudah ada orang yang menerimanya? Apakah orang itu membacanya atau malah mengkoyakkan kertas itu? Aku harap orang yang menerimanya bisa menyimpannya dan juga menghayati isi surat itu. Aku hanyalah seorang gadis pengidap kanker yang kesepian.
***
Siang ini aku sedang duduk-duduk di halaman rumahku. Menggunakan kursi roda pastinya. Aku melihat anak-anak yang sedang tertawa bermain bersama teman-temannya. Andai saja waktu bisa diputar. Aku tidak akan ingin bertumbuh dewasa. Aku lebih baik menjadi anak kecil. Kau hanya cukup menangis untuk mendapatkan perhatian atau sebuah benda yang kau inginkan.
Lamunanku terhenti saat aku menyadari ada seorang anak laki-laki yang memandangiku. Aku tidak tahu apakah pandangannya ini mengejekku atau malah kasihan padaku? Tapi sungguh, aku tidak butuh belas kasihan dari siapa pun. Aku hanya butuh seseorang yang bisa menyemangatiku.
Lelaki itu berjalan ke arah rumahku. Aku melihat asisten ibuku dengan pandangan bingung.
“Itu tetangga baru. Sudah 1 minggu dia tinggal di sini. Rumahnya tepat di sebelah rumah ini” kata asisten ibuku. Kini aku mengerti mengapa seminggu yang lalu rumahku ramai sekali. Aku rasa keluarga anak ini datang ke rumahku untuk mengenalkan diri. Tapi sayang sekali aku tidak bisa bergabung.
Anak laki-laki ini mirip sekali seperti Steve. Dia tinggi. Rambutnya pirang. Berantakan tapi beraturan. Itu membuatnya menjadi sangat tampan. Matanya berwarna emas. Dia menatapku dengan mata emasnya. Aku membalas tatapannya. Aku suka sekali cara dia menatapku.
“Ingin pergi ke taman bersamaku?”
Kata-katanya cukup mengejutkanku. Dia baik sekali. Mengajakku untu pergi ke taman. Apa dia tidak malu pergi dengan orang penyakitan sepertiku?
Aku melihat asisten ibuku. Dan dia mengijinkan kami pergi ke taman berdua. Dia mendorong kursi rodaku dengan hati-hati. Selain tampan, dia juga bertanggung jawab sekali.
Dia menghentikan kursi rodaku. Tepat di tempat dimana aku sering mencurahkan isi hatiku.
“Hey” sapanya dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya.
Aku tersenyum lalu menunjuk sebuah buku yang ku letakkan di belakang kursi rodaku. Dia memberikannya padaku.
“Hey. Namaku Hailey. Namamu siapa?” Tulisku di selembar kertas itu. Tulisanku memang tidak lagi rapi. Tapi aku yakin, dia bisa membacanya.
“Namamu indah. Sama sepertimu. Namaku Justin.” Ujar lelaki ini.
“Terimakasih Justin. Kamu sangat baik. Senang bisa mengenalmu.” Tulisku di dalam kertas itu.
“Aku juga senang bisa mengenalmu.” Ujar Justin. Dia tersenyum.
Sudah sekitar 1 bulan ini aku mengenal Justin. Dia begitu baik padaku. Kini aku tidak perlu lagi pergi ke taman untuk menceritakan cerita-ceritaku. Sekarang aku lebih sering bercerita dengan Justin. Dia sering sekali datang ke rumahku. Dan aku sangat senang jika dia datang ke rumahku. Dia sering memberikanku semangat ketika aku bercerita tentang penyakitku. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu baik padaku. Yang jelas, aku sangat bersyukur atas kehadirannya. Sekarang aku tidak merasa kesepian lagi. Hari-hariku pun terasa lebih berarti. Aku sudah jarang mengurung diri di kamar. Kalau Justin datang, kami terkadang menonton film yang dibawanya dari rumahnya. Justin juga sering bercerita tentang keluarganya.
Aku merasa keadaanku membaik semenjak kedatangan Justin. Dia begitu perhatian, baik, dan juga dia adalah penyemangatku. Terkadang, aku sering senyum-senyum sendiri kalau aku sedang mengingat dia. Mungkin aku menyukainya. Siapa sih yang tidak akan menyukai lelaki seperti dia?
***
“Aku ingin bercahaya seperti bulan dan bintang. Bercahaya di antara kegelapan.” Aku menulis itu di selembar kertas dan menunjukkannya kepada Justin.
Wajahnya berubah. Apakah ada yang salah dengan tulisanku? Atau dia tidak menyukai kata-kata itu?
“Sepertinya aku pernah membaca tulisan ini……… Emm…… Aku pernah membacanya dari kertas yang terletak di dalam balon” ujar Justin.
Aku terkejut. Berarti kertas itu ada pada Justin. Aku benar-benar tidak menyangka dengan semua ini. Berarti balon itu jatuh kepada orang yang tepat. Dan sekarang orang itu ada di depanku. Dan dia benar-benar seseorang penyemangat bagiku. Tuhan, terimakasih sudah mengabulkan doaku.
“Balon biru?” Aku menulis di selembar kertas.
“Ya, kau tau tentang balon itu?” Tanya Justin kebingungan.
“Akulah yang menulis semua yang ada di atas kertas itu” Tulisku kemudian.
***
Hari ini aku dan orang tuaku pergi ke rumah sakit. Untuk memeriksa keadaanku pastinya. Sekarang jika orang tuaku berpergian, aku tidak terlalu sedih. Karena Justin selalu menemaniku. Dia benar-benar baik. Seperti malaikat.
Senyum bahagia terukir di wajahku saat ku dengar dokter mengatakan kalau aku mengalami perkembangan. Berat badanku bertambah. Tanganku sedikit lebih mudah digerakkan. Aku tidak pernah mimisan lagi. Rambutku pun tidak terlalu sering rontok. Aku benar-benar bahagia. Kebahagiaan yang berawal dari surat di dalam balon biru.
Kini aku menjalani hidup yang lebih baik. Doa ku benar-benar terkabul. Kini aku dan Justin semakin dekat. Malam ini dia mengajakku ke taman. Tumben sekali dia mengajakku malam-malam begini.
“Hey, aku ingin mengatakanmu sesuatu.” Ujar Justin.
“Katakanlah” tulisku dikertas.
“Aku ingin menjadi pengisi hatimu.” Ujar Justin. Dia tersenyum. Manis sekali.
“Em, kau tahu?” tulisku.
“Tidak. Kau belum memberitahuku.” Ujar Justin sambil tertawa.
Aku tersenyum. “Aku juga ingin menjadi pengisi hatimu.” Ujarku.
“Benarkah? Aku akan berusaha untuk menjadi seseorang yang kau inginkan.” Ujar Justin memelukku.
Aku merasa tenang. Pelukannya hangat. Aku menyayangi dia. Tapi aku merasa, waktuku tidak lama lagi. Baru saja aku bertemu orang yang tepat. Tapi sepertinya takdir berkata lain.
Aku memeluk Justin. Lama sekali. Aku rasakan rambutnya menyentuh wajahku. Lembut sekali. I love everything about him. Dia segalanya bagiku. Tapi… sebentar lagi maut akan memisahkan kami. Aku sudah merasakan itu. Aku melihat seorang malaikat berdiri tak jauh dari aku dan Justin. Dia mengatakan sesuatu. Hanya aku yang mengetahuinya. Sungguh aku tidak rela meninggalkan Justin. kami baru saja bersama. Baru saja aku bisa tersenyum bahagia sekali. Tapi, kenapa semua itu harus berakhir begitu cepat?
Ketika malaikat itu menghilang. Aku merasa kalau ini sudah saatnya. Saat aku dan Justin ingin pulang. Hujan sangat deras sekali. Aku jadi ingat kejadian itu… Sepertinya memang air sangat tidak bersahabat denganku. Tapi cahaya. Bulan dan bintang bisa membuatku merasa nyaman. Karena inilah saatnya aku menjadi cahaya yang paling terang di langit sana.
No comments:
Post a Comment