Pukul 11.37. Aku tidak bisa tidur dan hanya berbaring di atas kasur dengan pergerakan gelisah
Kejadian hari ini membuat banyak pikiran yang terus berputar di kepalaku. Ya, soal Patra yang pergi jalan dengan Dira. Sudah jelas itu akan menjadi beban pikiran. Sangat. Tetapi, soal Yugo juga tidak kalah. Ia berhasil membuatku tidak habis pikir dan terus-terusan memikirkannya.
Apa yang terjadi di pemakaman tadi benar-benar tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku masih mengingat setiap detail memori yang otakku tangkap siang tadi. Yugo... aku tidak pernah mengira kalau dia serapuh itu. Aku yakin, kejadian yang menimpa Yugo tentu saja membuatnya hancur. Meski dari luar Yugo terlihat kuat dan kokoh, siapa yang tahu kalau di dalamnya dia amat rapuh.
Aku kembali mengingat kejadian tadi siang. Semua perkataan Yugo seolah kembali terputar di kepalaku.
(flashback)
"Hei, Nai! Sorry gue lama nggak ke sini," ujar Yugo pada kuburan di depannya sambil mengusap lembut tugu nama itu. "Sesuai permintaan lo, gue bawa pacar, yang mirip lo," lanjutnya kemudian terkekeh pelan.
"Nai, mulai sekarang lo jangan pernah khawatirin gue lagi. Gue... bahagia," lanjut Yugo dengan suara lirih. Hatiku mencelos mendengar suaranya yang rendah dan dalam. Seolah dia benar-benar mengatakannya dengan hatinya yang terdalam.
"Go, gue boleh tanya sesuatu?" tanyaku pelan setelah ikut berjongkok di sampingnya.
Yugo memandangku. Matanya kali ini terlihat sangat redup, tidak seperti Yugo yang selalu terlihat penuh dengan kepercayadirian. "Tanya apa?"
Aku menghela napas sekali sebelum mulai bicara. "Naina ini... siapa?"
Yugo menarik sudut bibirnya sedikit. Ia menoleh ke tugu nama kuburan Naina dan mengusapnya. "Dia orang yang paling berharga buat gue, Cle. Gue dan Naina selalu bareng sejak kecil. Dia yang selalu nemenin gue waktu gue sedih karena nyokap gue meninggal. Pokoknya dia berharga banget buat gue."
Yugo terdiam. Aku tidak sanggup bertanya lebih jauh. Kulihat Yugo mengusap ujung matanya yang berair. Yugo? Menangis? Walau cuma sekilas, tetapi aku yakin Yugo menangis karena dia sangat terluka. Secara refleks aku mengusap bahu Yugo perlahan, tanpa tahu harus bilang apa.
"Dan..., gue nggak pernah bener-bener bahagiain Naina sebelum dia pergi, Cle. Gue..."
Kini Yugo terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya. Aku semakin mengernyitkan dahi iba. Aku tidak lagi bisa melihat ekspresi Yugo, dia memalingkan wajahnya menatap tugu nama Naina. Kulihat tangan Yugo yang bertopang pada tugu nama itu bergetar. Lalu aku juga mendengar isakan dan bahu Yugo bergerak naik turun. Yugo menangis terisak-isak! Aku tidak percaya ini.
Karna tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya terdiam sambil mengusap bahu Yugo pelan. Entah bagaimana rasanya aku bisa merasakan sakit yang ia rasakan. Walau aku tidak mengerti seperti apa cerita sebenarnya. Aku sungguh tidak paham situasinya. Tetapi, aku yakin Yugo pasti amat sangat terluka. Dan aku jadi penasaran setengah mati! Aku harus cari tahu yang sebenarnya, nanti.
***
"Ya, karena sekarang kalian sudah kelas tiga, ibu akan memberikan satu informasi penting buat kalian. Ibu yakin, di antara kalian pasti ada yang tertarik untuk kuliah di luar negeri. Karena itu, bagi kalian yang tertarik kuliah di Jerman, ibu tunggu di ruang BP untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut."
"Wah, kuliah di Jerman, Bu? Kita, kan, belum Ujian Nasional. Kok udah ada pendaftaran kuliah?"
"Justru itu, khusus untuk kuliah di Jerman, kalian akan diberangkatkan lebih dulu. Kurikulum mereka beberapa bulan lebih cepat. Sementara Ujian Nasional akan dilakukan secara online dari sana."
Suasana di kelas menjadi ramai dengan perbincangan mengenai kuliah di luar negeri yang baru saja ditawarkan sang guru bagian konseling, Bu Emma. Beliau diberi kepercayaan untuk mengurusi dan mengayomi anak-anak yang tertarik kuliah di German. Tentu saja banyak siswa yang tertarik dengan tawaran ini. Tetapi, resiko tinggal di luar negeri sangatlah berat. Karena itulah justru lebih banyak dari mereka yang sama sekali tidak tertarik kuliah di luar negeri dan memilih untuk melanjutkan studi di tanah air.
"Itu saja yang ibu sampaikan, ibu tunggu kedatangan kalian di ruangan saya," tutup guru cantik itu seraya meninggalkan kelas dengan langkah anggunnya.
"Wah, boro-boro kuliah di Jerman. Ngomong Inggris aja gue masih belepotan!" celetuk Gunawan tepat setelah Bu Emma keluar ruangan.
"Makanya belajar!" Patra menasehati dengan sorot mata bosan.
"Emang lo tertarik kuliah jauh-jauh gitu?"
"Ya, gue mau coba," jawab Patra.
Cleo, yang duduk di meja sebelah mereka, mau tak mau mendengar percakapan barusan. Sambil membereskan bukunya ke dalam tas, ia tampak sedikit terkejut. Cleo tidak pernah mendengar rencana Patra soal kuliah di luar negeri. Padahal, seharusnya Cleo tahu kalau Patra memang merencanakan ini sejak lama. Sebab tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Cleo mengenai Patra. Ini artinya, Patra merencanakannya baru-baru ini.
Merasa tidak tenang, Cleo ingin sekali menegur Patra dan bertanya soal rencananya ini. Bagaimanapun, menurut Cleo ini adalah hal besar. Cleo merasa dirinya harus tahu soal rencana besar dalam hidup Patra. Dengan segenap keberanian, Cleo memaksakan diri untuk memanggil Patra.
"Patra!"
"Patra!"
Patra menoleh. Dua orang baru saja memanggil namanya. Tentu saja ia tahu kalau yang memanggilnya adalah seseorang dari meja yang bersebelahan dengannya, dan seseorang yang berdiri di ambang pintu kelas.
"Patra! Gue nunggu dari tadi, lho!" teriak gadis berambut sebahu tanpa menggerakkan kakinya barang selangkahpun.
"Eh, Dira! Bentar, Dir!" jawab Patra dengan suara agak keras. Ia kemudian menoleh ke samping, dimana Cleo terdiam mematung. Patra benar-benar tidak menyangka Cleo akan memanggilnya, setelah insiden perang bisu berhari-hari. "Tadi lo manggil gue, Cle?" ujarnya pelan.
Cleo terdiam. Entah kenapa, setiap melihat Dira, ia merasa hatinya sakit. Ia merasa iri dengan cewek itu. Bagaimana mungkin Dira mampu menarik perhatian Patra melebihi dirinya? Bagaimana mungkin orang yang baru saja masuk di hidup Patra, sekarang terlihat begitu akrab. Sementara dirinya yang selalu di samping Patra sejak lama, kini tidak lagi saling berkomunikasi? Cleo merasa kalah. Cleo merasa posisi dirinya tergantikan.
"Cle?" panggil Patra karena Cleo masih belum menjawab.
"Ah, nggak jadi, nanti aja," jawab Cleo dengan wajah datar.
Patra hanya berkedip sekali, lalu mengangguk. "Yaudah."
Ia lalu berdiri sambil menyelendangkan tasnya di bahu kanan dan berjalan menuju pintu keluar.
Mata Cleo mengikuti pergerakan Patra. Kemudian ia bersitatap dengan Dira yang sejak tadi berdiri di ambang pintu. Dira terlihat agak canggung saat berpandangan dengan Cleo. Walau bagaimanapun, jauh di dalam hatinya, ia merasa tidak enak atas kedekatannya dengan Patra sementara hubungan Patra dan Cleo justru merenggang. Meski ini bukan kesalahannya.
"Hei, Cleo!" sapa Dira ragu.
Cleo melambaikan tangannya sambil tersenyum sekedarnya. "Dir!" balasnya.
Patra kemudian sampai di pintu. Ia melirik sedikit ke arah Cleo, namun kemudian memalingkan wajahnya. "Yuk, Dir!" katanya. Dira mengangguk lalu kembali melambaikan tangannya pada Cleo sebelum pergi.
Cleo mengalihkan pandangannya ke atas meja di depannya, lalu menghela napas. Rani dan Gunawan tentu saja tidak ketinggalan momen tadi. Mereka jadi merasa canggung dan aneh atas hubungan yang rumit antara teman-temannya. Tetapi Rani dan Gunawan merasa tidak berhak untuk ikut campur atau apapun. Biarlah urusan teman-temannya, biar mereka sendiri yang urus. Teman hanya ada untuk mensuport, bukan untuk merecoki kehidupan temannya.
***
Cleo tidak mau ambil pusing lagi. Tenggelam dalam rasa cemburu sangatlah melelahkan. Karena itulah, cewek berambut panjang itu berusaha untuk mengabaikan perasaan sakitnya dan mengalihkan ke hal lain. Ada satu hal yang saat ini benar-benar membuatnya penasaran... Yugo! Dia tidak berhenti memikirkan Yugo sejak semalam. Itulah yang membawa kaki Cleo melangkah ke kelas Yugo. Kalau sebelumnya dia enggan dan selalu menghindari Yugo, kali ini justru ia yang mencarinya. Bukan Cleo namanya kalau tidak mengejar sesuatu untuk memenuhi rasa penasaran.
Cleo sampai di kelas Yugo. Tetapi ia tidak melihat cowok itu di sana. Hanya ada beberapa orang yang sedang piket dan beberapa cewek yang sedang sibuk berbincang. Cleo kemudian merogoh ponselnya, mencoba menghubungi Yugo. Tetapi niatnya urung ketika seseorang menyapanya.
"Nyari siapa, Cle?" ujar Tio, anak yang pernah satu kelas dengan Cleo waktu kelas sepuluh.
"Eh, Yo! Gue nyari Yugo," jawab Cleo.
"Oh, pacar lo!" Tio terlihat menahan senyum. Cleo sudah tidak peduli lagi tentang pandangan orang-orang mengenai hubungannya dengan Yugo. Jadi ia memilih untuk mengangguk saja daripada repot-repot menjelaskan situasi yang sebenarnya.
"Tadi dia udah keluar. Cari aja, kayaknya belum jauh."
"Oke, thanks! Gue duluan, ya!"
Cleo lalu berbalik dan berjalan lebih cepat. Sampai di basement, ia melihat tempat parkir di mana Yugo biasa menaruh motornya di sana. Yah, Yugo punya tempat parkir khusus yang seorangpun tidak akan berani menempatinya. Orang bodoh mana yang mau berurusan dengan Yugo, preman sekolah yang kaya raya? Tetapi tempat itu kosong. Sepertinya ia sudah keluar dengan motornya.
Cleo mendecak sekali. Ia berusaha menelepon Yugo sambil memikirkan kira-kira kemana Yugo pergi. Sebagian dari diri Cleo merasa geli sendiri. Bagaimana mungkin, orang yang dulu paling menyebalkan, sekarang ia sedang kelabakan mencarinya? Dunia memang lucu.
Gagal menghubungi Yugo lewat telepon, Cleo berjalan menuju lapangan, kemudian melewati koridor utama, taman depan sekolah, dan sampai di gerbang sekolah. Kelelahan, ia memutuskan untuk duduk di halte depan sekolahnya. Cewek berbibir tipis itu mencebik sehingga bibirnya semakin menghilang ketika panggilannya tidak mendapat jawaban.
Tiba-tiba saja Cleo mendengar suara geruman motor berhenti di depannya. Ia mengangkat wajahnya dari ponsel dan mendapati tiga motor besar berwarna merah menyala yang ia kenal.
"Yugo! Gue nyariin lo!" ujar Cleo girang, seperti seorang ibu yang menemukan anaknya yang hilang di supermarket.
Yugo melepas helm-nya, lalu turun dari motor dan menghampiri Cleo. "Lo belum pulang?" tanya Yugo dengan alis tebalnya yang bertautan.
Cleo menggeleng. Kemudian perhatiannya beralih pada dua motor lainnya yang menyisi di tepi jalan itu. Cleo ingat! Orang-orang itu adalah dua dari tiga orang yang dulu pernah mem-bully dirinya. Oleh karena itu, Cleo melotot tajam kala melihat wajah-wajah mereka.
"Dia cewek yang waktu itu!" ujar salah seorang dari mereka.
"Cle, lo inget? Ini udah hari ketujuh sejak perjanjian kita yang waktu itu, jadi sekarang lo bebas. Kita udah nggak ada perjanjian apa-apa lagi." Penjelasan Yugo membuat Cleo tertegun. Ia sendiri lupa kalau waktu sudah beralan sebanyak itu.
"Gue mau pergi sama temen-temen," ujar Yugo lalu ia berbalik hendak meninggalkan Cleo.
Cleo menahan Yugo dengan memegangi tangannya. "Tunggu, ini hari ketujuh. Artinya, perjanjian kita masih belum terpenuhi, besok baru selesai!" jelas Cleo tegas.
Yugo mengernyit, tidak mengerti dengan apa yang cewek ini katakan. Bukankah seharusnya ia senang karena Yugo berhenti mengganggunya? "Lupain aja soal perjanjiannya. Gue udah ngerasa cukup. Dan lo ataupun Patra aman, oke?"
"Nggak bisa gitu!" Cleo membentak agak nyolot. "Perjanjian tetep perjanjian. Ini hari ketujuh dan kita selesai besok!" lanjut Cleo mantap sambil memandang Yugo dengan tegas.
Yugo tertawa tanpa suara seraya menggelengkan kepalanya. Dahinya masih mengernyit tak mengerti dan matanya menyipit. Ia kemudian berbalik dan berbicara pada teman-temannya. "Kalian duluan. Gue masih ada kontrak sama 'pacar' gue!" kata Yugo dengan penekanan pada kata pacar.
Kedua temannya tidak mau ambil pusing. Mereka hanya mengangkat bahu dan menyalakan motornya, lalu melaju. Yugo kembali berbalik dan menatap Cleo yang masih mencebikkan bibirnya.
"Mau kemana kita sekarang?"
***
Karena tidak punya tempat tujuan, akhirnya Yugo membawa Cleo ke apartemennya. Cleo tidak percaya dirinya setuju dan benar-benar masuk ke sebuah apartemen yang ditinggali seorang cowok, sendirian. Ia merasa sudah gila. Bagaimana mungkin rasa penasaran membuat nalarnya tidak berfungsi? Ini pertama kalinya Cleo masuk ke tempat tinggal cowok, selain Patra.
Yugo meletakkan sebuah minuman kaleng yang tampak dingin ke atas meja di depan sofa tempat Cleo duduk. Sebelah tangannya memegang kaleng serupa dan menyeruput isinya dengan begitu nikmat. Ia melirik Cleo yang bergeming di posisinya. Yugo lalu meletakkan kaleng miliknya juga dan duduk di samping Cleo.
"Kenapa diem?" tanyanya.
"Banyak pikiran," jawab Cleo. Cewek itu menghela napas dan menopang dahinya dengan kedua telapak tangan.
"Pikiran soal?"
"Macem-macem."
Yugo ber-oh ria. Lalu mulai mengalihkan topik pembicaraan. "Boleh nanya sesuatu?"
Cleo mengangkat wajahnya. "Apa?"
"Lo nggak takut berdua sama gue di sini?" Yugo mulai memamerkan senyum miringnya lagi. Kemudian ia tertegun selama satu detik dan kembali ke posisi semula. Ia lupa kalau dirinya sedang menghilangkan kebiasaan tersenyum miringnya itu. Ini akibat perkataan Cleo tempo hari.
Cleo mendengus mengejek karena tingkah Yugo barusan. Ia tidak berniat menjawab pertanyaan Yugo. Ia kemudian beralih memperhatikan seisi apartemen Yugo yang berukuran sedang. Tidak banyak hal yang menarik, hanya apartemen khas anak cowok pada umumnya.
"Lo tinggal sendirian di sini?" tanya Cleo.
"Iya, kenapa?"
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
"Kenapa lo nggak di rumah?"
Yugo menahan napas sebelum meraih kembali kaleng minuman di atas meja. "Di rumah sepi. Bokap gue sibuk kerja. Apa bedanya sama di sini?" jelasnya lalu meneguk minumannya.
Cleo hanya bergumam panjang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ia baru ingat kalau Yugo pernah cerita soal kematian ibunya waktu di pemakaman tempo hari. Mengingat soal pemakaman, Cleo kembali penasaran soal sosok Naina yang mereka temui waktu itu.
"Sekarang giliran gue yang tanya, kenapa lo nyamperin gue tadi? Bukannya seharusnya lo seneng gue udah bebasin lo?" lanjut Yugo. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan tindakan Cleo ini. "Lo inget dua temen gue tadi? Mereka orang yang gue suruh buat ngerjain lo waktu itu. Lo nggak takut?"
Cleo mengangkat alisnya dan menekuk bibirnya ke atas. "Sayang sekali gue bukan cewek penakut."
Yugo dan Cleo saling berpandangan. Kemudian keduanya tertawa bersamaan. "Lo bener-bener mirip Naina!" ujar Yugo refleks. Gotcha! Inilah yang ingin Cleo dengar dari Yugo.
"Gue mirip Naina?" tanya Cleo memancing.
Yugo terdiam sesaat. Ini pertama kalinya dia membicarakan Naina dengan orang lain. Toh, Yugo pikir, Cleo sudah tahu soal Naina karena ia yang membawanya berkunjung ke kuburannya. Jadi Yugo merasa berhutang penjelasan pada Cleo.
"Ya! Sifat humble lo, sifat keras kepala lo, sifat pemberani lo, semuanya persis kaya Naina. Kalian agak mirip."
"Agak mirip?" Cleo mengulang perkataan Yugo dengan nada bertanya.
"Ya, agak mirip. Naina jauh lebih cantik dari lo." Yugo memandang Cleo jahil.
Cleo mencibir. Ia tahu Yugo tidak benar-benar serius. Tetapi rasanya sedikit kesal dibanding-bandingkan begitu. "Jadi itu sebabnya dari dulu lo terobsesi buat jadi pacar gue?"
Yugo meringis. "Terobsesi?"
"Udah lama lo gangguin gue dan sering nembak gue, inget?" Cleo tertawa licik. Ia merasa sudah berhasil membalas perbuatan Yugo yang tadi.
"Itu karna... ceritanya panjang! Lo mau denger?"
No comments:
Post a Comment