seorang Penjual Martabak Telur
Tahun 1993, pada suatu sore hari, ada seseorang datang memencet bel pintu rumah saya. Saya membuka pintu dan melihat seorang ibu berusia 50 tahunan berdiri, di belakangnya terdapat dua anak gadis berusia 20 tahunan yang menenteng dua kantong plastic besar. Saya tanya dia cari siapa. Katanya dia cari saya. Tapi saya tak mengenalnya, sedang dia terlihat amat akrab dengan saya, dia pun memanggil anak gadisnya masuk ke taman. Belum saya memberi jalan, dia sendiri sudah membuka pintu dan masuk ke ruang tamu rumah saya. Dia minta anak gadis menurunkan kantong yang mereka bawa, kemudian memberi penghormatan pada Buddha. Usai memberi penghormatan, saya tetap belum bisa mengenalinya.
Dia tersenyum berkata : “ Setahun lalu saya pernah ke rumah anda. Saya adalah pembuat makanan Cia Kwe ( Sejenis gorengan).”
Begitu dengar saya lekas teringat : “ Oh, maafkan saya. Tadi saya tak bisa mengingatnya. Mari silakan duduk. Pinggang ibu sudah sembuh?”
“ Sudah sembuh total! Lihat, hari ini saya bawa ke dua anak gadis saya membawakan satu karung beras kemari. Kami khusus datang untuk mengucapkan terima kasih pada anda. Saya tahu anda tak pernah menerima hadiah dari orang lain. Tapi anda mesti menerima satu karung beras ini. Karena berkat anda dan guru tersebut, pinggang saya tersembuhkan.” Usai berkata dia hendak bersujud pada saya, saya menghentikannya.
Pikiran saya lekas mengenang pada masa lalu….
Satu tahun lalu, seorang umat buddha membawa ibu ini ke rumah saya. Suaminya menderita sakit di bagian tulang duduk, sudah 6 tahun terbaring di tempat tidur. Walau dia melayaninya dengan cermat namun tetap tak bisa sembuh, dan sudah meninggal setengah tahun lalu.
Kini dia sendiri juga menderita penyakit yang sama. Dia teringat suaminya telah banyak menderita dan banyak menghabiskan uang, namun tetap tidak selamat. Oleh karena itu, dia merasa lebih baik mati saja daripada harus merepotkan ke dua putrinya. Lantas dia tidak pergi cari dokter, juga tidak makan obat. Para putriya bisa membaca pikiran ibu mereka. Mereka lekas meminta perlindungan pada dewi Kwan Im. Kebetulan dilihat oleh umat Buddha ini. Umat ini dulu pernah menjadi tetangga mereka. Setelah mengetahui kondisi keluarga mereka, umat ini amat menaruh rasa iba. Dia tahu kebetulan biksu Miao Fa sedang ada di rumah saya, lantas dia membawa mereka ke tempat saya untuk meminta petunjuk dari guru.
Setelah mendengar cerita dari si penderita, Biksu tua Miao Fa bertanya padanya : “ Apakah anda menjalankan usaha yang ada kaitannya dengan telur ayam?”
Usai mendengarnya si ibu terkejut dan berkata : “ saya menjalankan usaha martabak telur. Kadang sehari paling banyak harus menghabiskan belasan kilo telur ayam. Apa hubungannya dengan penyakit saya?”
“ Di antara itu, apakah terdapat laba yang tidak seharusnya didapat?”
“ Saya mencari uang dengan bekerja keras.” Dalam sesaat ibu ini tidak bisa mengerti.
Begitu mendengar dia adalah penjual martabak telur, saya segera mengerti : “ Sekarang kita sedang mencari penyebab penyakit ibu. Ibu jangan tersinggung kalau saya bicara terlalu terus-terang. Apakah ibu khusus membeli telur yang sekilo jumlahnya 11-12 butir kecil. Kemudian dijual lagi dengan sekilo berisi 7-8 butir besar. Setiap butir kecil dijual dengan harga butir besar, anda mendapat keuntungan dari situ?”
Katanya: “ Setiap orang berbuat begitu. Toh demi untuk mendapatkan sedikit keuntungan. Sebenarnya pada pembeli juga tahu, namun kadang mereka malu untuk memperhitungkannya.”
“ Dinilai dari ajaran Buddha, ini bentuk dari keserakahan dan penipuan. Anda mendapat sedikit keuntungan lebih dari tiap butir telur, lama-lama jadi bukit. Kejahatan kecil menjadi kejahatan besar. Inilah penyebab anda menderita penyakit ini.”
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
“ Suami saya tidak pernah melakukan ini, mengapa dia juga harus menderita sakit tulang duduk ?”
Guru menerangan dengan sabar “ Menderita sebuah penyakit bukan dikarenakan oleh satu sebab yang sama. Misalnya demam, berbagai penyakit infeksi bisa mengakibatkan demam. Mungkin anda juga akan bertanya, bukankah para penjual martabak telur lainnya juga akan menderita sakit di bagian tulang duduk? Ini belum tentu juga. Hasil sebab akibat yang ditimbulkan setiap orang amatlah rumit, masing-masing berbeda. Kadang kita lihat berita kecelakaan yang memakan korban, namun juga pernah mendengar mobil menabrak seseorang atau bahkan terpelanting hingga beberapa meter namun orangnya tetap selamat. Masih ada banyak kejadian yang serupa menakjubkan ini. Sebenarnya ini ada kaitannya dengan moral kebajikan seorang manusia. Orang yang memiliki moral kebajikan akan selamat dari petaka. Menjalankan usaha untuk mendapatkan keuntungan, itu hal yang wajar. Kata orang dulu : “ Manusia menyukai harta benda, namun hendaknya didapat dengan cara yang benar”. Mencari keuntungan dengan cara mengurangi timbangan ataupun mutu atau memalsukan merupakan cara yang tidak bermoral. Ini ibarat dengan memelihara harimau yang akhirnya dicelakai oleh harimau sendiri. Sekarang mati-matian mencari keuntungan, kelak mati-matian makan obat. Apakah ibu bisa menerima penjelasan ini?”
“ Guru, saya sudah paham. Mulai sekarang saya takkan serakah lagi. Saya takkan mengibuli pembeli lagi.”
Ibu ini tidak banyak mengenal huruf, lantas biksu tua Miao Fa mengajarinya melakukan pertobatan dengan cara melafal nama Bodhisattva “ Namo Avalokitesvara ( Na Mo Guan Shi Yin Pu Sha), juga memintanya menyedikan sebuah rupang Buddha. Tiap hari melakukan puja bakti dan membaca sutra. Selain itu, harus banyak melepaskan makhluk hidup. Maka ada kemungkinan penyakitnya akan sembuh. Menjelang pamit, dia sudah merasa pinggangnya terasa lebih lega. Dia pun makin yakin pada Buddha dan dharma.
Tak sangka sudah berlalu satu tahun lebih, penyakitnya sudah sembuh, bahkan datang untuk berterima kasih.
Dia lihat saya tidak mau menerima berasnya, dia berkata dengan antusias : “ Sejak saya pulang dari rumah anda, tiap hari saya memikirkan perbuatan tak bermoral yang telah saya lakukan. Saya amat menyesal. Hari ke dua, saya mendatangkan sebuah rupang dewi Kwan Im untuk dipuja. Tiap hari saya memberi dupa dan bersujud, kadang sehari bersujud sebanyak 300 kali. Pinggang saya tak hanya tak sakit tapi makin lama makin membaik. Tapi suatu hari, tiba-tiba saya sakit pinggang sampai tak bisa berdiri. Putri saya minta saya berobat ke RS. Saya bilang apa gunanya ke rumah sakit. Toh ayahmu tetap tidak selamat. Guru itu benar. Saya percaya padanya. Sembuh atau tidak sembuh, saya tetap percaya. Siapa suruh saya telah berbuat salah! Saya tak bisa jalan, lantas saya merangkak dan bersujud di tempat tidur sambil melafal Namo Avalokitesvara, demikian saya bertahan hingga satu bulan.”
“ Suatu malam saya bermimpi. Saya mimpi Dewi Kwan Im muncul di hadapan saya. Saya lekas bersujud. Dewi bertanya : ” Tiap hari kamu memanggil nama saya, kamu butuh bantuan apa dari saya? “ Saya bilang : “ Saya serakah dan mengakibatkan sakit tulang duduk, mohon dewi Kwan Im menyembuhkan saya. Setelah sembuh tiap hari saya akan bersujud dan melafalkan nama Buddha dan Bodhisattva.” Bodhisattva Avalokitesvara menurunkan tangannya dan meraba pinggang saya : “ Kamu tidak sakit apa-apa. Kalau sakit mana mampu kamu bersujud lagi? Usai berkata pun menghilang. Saya senang sambil meneriakkan nama dewi Kwan Im. Ternyata saya terduduk di tempat tidur. Ke dua putri saya pun terbangun dan lekas datang untuk menenangkan saya. Mereka tiba-tiba berteriak dengan senang dan terkejut : “ Ibu, ibu sudah bisa duduk.” Barulah saya sadar saya sedang duduk di atas tempat tidur. Saya teringat mimpi saya, tiba-tiba saya merasa pinggang saya hangat dan amat merasa nyaman. Saya lekas sadar bahwa saya sudah sembuh. Air mata saya terus berlinang. Saya cerita mimpi saya pada putri saya. Mereka kurang percaya. Saya minta mereka menurunkan saya ke lantai. Mereka memapah saya berjalan beberapa langkah, pinggang saya sama sekali tak sakit lagi, hanya ke dua kaki saya terasa sedikit lemas. Saya tahu itu dikarenakan saya telah berbaring selama sebulan lebih. Kami amat senang hingga tidak bisa tidur semalaman.”
“ Saya sudah sembuh. Saya amat berterima kasih pada dewi Kwan Im. Saya pun teringat pada almarhum suami saya. Seandainya dia bisa bertemu dengan ajaran Buddha, bukankah juga amat selamat? Lantas saya berkunjung ke makamnya dan menceritakan mukjizat yang saya alami. Usai berkunjung di makam, para kerabat minta saya tinggal beberapa hari di sana. Saya setuju. Di desa sana saya melihat ada banyak gabah yang jatuh saat dijemur. Saya tanya kenapa tak ada yang memungut gabah-gabah itu. Mereka bilang, kini orang-orang sudah kaya. Tak ada lagi yang mau memunggut sedikit gabah itu dengan menahan terik panas. Saya bilang, bolehkah saya memungutnya? Mereka bilang, terserah. Beberapa hari lagi gabah-gabah itu akan dibakar. Saya merasa sayang untuk membakar makanan. Saya memakai waktu satu Minggu untuk memungut gabah-gabah itu dan menghasilkan 98 kati beras. Hari ini saya bawakan 50 kati untuk anda. Ini bukan hadiah untuk anda, tapi untuk membuat anda tahu bahwa pinggang saya sudah sembuh. Saya harus membungkuk berapa kali untuk memungut padi sebanyak ini. Ini dikarenakan dewi Kwan Im sudah memberi nyawa ke dua pada saya. Saya selalu minta putri saya bantu melafalkan sutra sadharma pundarika untuk dilimpahkan jasanya pada semua makhluk hidup. Kami membawakan beras ini supaya anda bisa ikut bergembira bersama kami.”
Dengan berbagai usaha, akhirnya si ibu setuju membawakan berasnya ke vihara. Saya bercanda padanya berkata, ajaran dharma merupakan hak paten dari sang Buddha. Saya tak berani menerima pemberian ibu. Sebaiknya disumbang ke vihara untuk para biksu. Mereka adalah wakil Buddha di dunia manusia. Lagipula biksu tua Miao Fa juga adalah seorang sangha.
No comments:
Post a Comment