Senandung Air Mata Diatas Sajadah Cinta - Cewek Hot - Cewek Panas - Cewek Indonesia - Cewek Abg Plus - Pijit Plus

Breaking

Home Top Ad


Post Top Ad

Responsive Ads Here

Monday, August 13, 2018

Senandung Air Mata Diatas Sajadah Cinta

Senandung Air Mata Diatas Sajadah Cinta


 http://detikabg.blogspot.com



Cinta itu, alunan melodi. Cinta itu, getaran jiwa. Cinta itu, penuh warna. Cinta itu, tantangan. Cinta itu, kehidupan. Cinta itu, kamu.
Kupejamkan mataku, ku resapi kata-kata yang baru aku tulis itu, sejenak bibirku tertarik untuk tersenyum ketika aku menulis kata “Cinta itu, kamu”.
Dirga. Dialah sosok “kamu” yang ada dalam tulisan itu. Temanku sejak saat kami masih duduk dibangku Sekolah Dasar yang sekarang menjadi tunanganku. Dua bulan yang lalu sebuah cincin indah yang sekarang melekat dijari manisku ini dipasangkan Dirga padaku.
Kalau aku ingat-ingat dari sejak Sekolah Dasar, aku tidak menyangka akan sampai bertunangan dan insya Allah akan menikah dengan Dirga. Sebagaimana yang aku ingat, sejak aku kenal Dirga, dia itu anak yang nakal. Hampir semua siswi dikelas kami sudah dibuatnya menangis. Tapi aku harus terima kenyataan kalau aku harus satu kelas dengannya sejak dari kelas satu Sekolah dasar hingga aku menyelesaikan study ku disebuah Universitas yang ada di kotaku.
Dulu, waktu aku duduk dibangku kelas 3 SMA, Dirga pernah menyatakan cintanya padaku didepan teman-teman satu kelas. Tapi terang-terangan aku tolak cintanya. Jujur, sebenarnya bukan karna aku tak menyukainya, tapi karena malu jika harus punya pacar seperti Dirga. Bukan karna wajahnya, tapi karna sifat buruknya dari Sekolah Dasar sampai sekarang yang tidak pernah berubah, lagi pula kalau masalah otak dia jauh dibawahku.



Tapi entah dirasuki jin baik dari mana, Dirga tiba-tiba bisa merubah semua sifat-sifat buruknya itu. Selang waktu satu semester, semua nilainya meningkat, dan prilakunya membaik.
Saat memasuki dunia pendidikan yang baru, dunia perkuliahan. Kembali Dirga menyatakan cintanya padaku. Kali ini kurasa tak ada lagi alasan untuk ku menolaknya. Akhirnya kuterima dia untuk mengisi ruang kosong dihati ini, hingga sebulan setelah kami mendapatkan gelar Sarjana dia memasangkan cincin pengikat ini dijari manisku.
“Sofia, dari tadi dicari kemana-mana ternyata ada disini. Ini kan acara ulang tahun kamu, kenapa malah kamunya yang tidak ada diacara, yuk keluar”. Suara Lili yang merupakan salah satu dari sahabatku membuyarkan semua lamunanku tentang Dirga. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-22. Tapi sayang, Dirga tak bisa hadir bersama kami disini karna dia masih dalam perjalanan pulang dari menjalankan ibadah Umroh.
“Maaf-maaf, tadi ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan”. Ucapku pada Lili seraya melemparkan senyuman padanya.
“Aku tau urusan itu apa, pasti kamu buat kata-kata lagi buat Dirga, iya kan??”
“Sepertinya pertanyaan itu tidak perlu aku jawabkan??”. Kataku sambil melirik Lili dan melemparkan senyuman lagi padanya. Lili hanya tertawa simpul mendengar jawabanku. Karna memang dia tau semua kebiasaanku.
Semua teman-teman terdekatku sudah berkumpul dirumahku untuk merayakan hari ulang tahunku yang ke-22. Walaupun ulang tahun kali ini tanpa Dirga, tapi tak sedikitpun senyuman yang hilang dari bibirku, ini semua berkat teman-teman.
“Sekarang tiup lilinnya Sofia, tapi sebelumnya baca do’a dulu”. Ucap Clara yang juga sahabatku.
Kembali ku pejamkan mataku, kata demi kata harapan telah aku ku ucapkan didalam hati. Ku buka mataku lagi, dan kutiup lilin dengan angka 22 yang ada dihadapanku. Bersamaan dengan saat aku meniup lilin itu, handphoneku berdering. Tante Nila, itu nama yang tertera dilayar Handphoneku. Tante Nila adalah Ibu Dirga.
“Assalamu’alaikum tante”. Ucapku setelah menekan tombol jawab di handphoneku.
“Walaikumsalam. Dirgaaaa,,, Dirga kecelakaan Sofia. Baru saja tante lihat berita kecelakaan pesawat yang merupakan pesawat yang ditumpangi Dirga dari Tanah Suci”. Ucap tante Nila sambil menangis.
Seluruh badanku lemas, handphone yang aku genggam pun kini sudah berada diatas lantai, aku jatuh, dan setelah itu aku tak ingat apa-apa.
Perlahan ku buka mataku, ku lihat semua orang yang ada disekelilingku. Beberapa orang teman dan kedua orang tuaku.
“Ma, Dirga ma, antarkan Sofia ke tempat Dirga ma”. Pinta ku pada mama.
“Maafkan mama sayang, mama tidak bisa ngantar Sofia ke tempat Dirga, karena kita semua juga tidak tau dimana keberadaan Dirga. Pesawat itu jatuh ditengah hutan dan sampai sekarang 5 dari penumpang pesawat itu belum ditemukan, salah satunya adalah Dirga”. Ucap mama sambil memelukku.
Perlahan air mata ini harus mengalir dipipiku, lama kutatap cincin yang kini masih melekat dijari manisku, “Dirga, kamu pasti akan kembali” bisik batinku sambil ku cium cincin pemberian Dirga.
Lembutnya belaian angin sore selalu menemani ku ditempat ini. Disebuah danau yang berada tak jauh dari rumahku. Tempat ini adalah tempat aku dan Dirga selalu menghabiskan waktu bersama, tempat yang punya segudang kenangan indah saat-saat aku bersamanya. Kicauan burung sahut-sahutan menjadi musik pengiringku sore ini. Sebuah buku diary kecil yang slalu aku bawa kini mulai ku coret dengan pena mungil yang dulu juga pemberian Dirga. Kembali ku tuliskan kata demi kata yang kutujukan pada Dirga.

“Symphony rinduku pada hati yang raganya kini entah dimana berlabuh. Dirga, dengarkan hatiku memanggil namamu, ikuti suaraku tuk kembali keruang hatiku, aku menunggumu, kembalilah!!”
Seperti langit yang takkan pernah terpisah dari Bulan, Bintang dan matahari. Laut yang takkan pernah terpisah dari ikannya, aku juga takkan pernah terpisah dari cerita hidupku. Selagi aku bernafas, hidup ini harus kujalani, meski sudah banyak yang berubah.
Setahun sudah sejak kecelakaan pesawat itu, tapi aku masih selalu menunggu Dirga datang menemuiku. Jauh dilubuk hatiku masih ada keyakinan kalau Dirga pasti kembali. Lagi-lagi ku pandang cincin dijari manisku. Air mataku menetes, jatuh tepat diatas permata mungil dibagian atas cincinku.
“Sofia, kesini nak, Papa dan Mama mau bicara”. Panggil Papa saat aku baru pulang dari masjid malam itu.
“Iya pa”. Aku duduk disebelah mama.
“Maafkan Papa jika harus membahas soal ini. Papa tidak tega jika harus melihat Sofia dalam kesedihan setiap hari. Nak, sudah setahun Dirga pergi, kita tidak tahu apa dia masih hidup atau tidak, apa dia masih akan kembali atau tidak. Saran Papa dan Mama, cobalah buka hati kamu untuk laki-laki baru. Umur Sofia sudah 23 tahun, sampai kapan Sofia akan menunggu Dirga?? Jika Sofia mau, anak teman Papa baru saja menyelesaikan S2 nya di Kairo kini baru saja kembali ke Indonesia. Papa tau bagaimana latarbelakang dia dan keluarga, dari dulu teman papa itu selalu mau berbesan dengan Papa. Tapi itu jika Sofia mau. Jika tidak, Papa tidak memaksa nak, Sofia bisa menentukan sendiri pilihan Sofia, apapun keputusan Sofia InsyaAllah itu yang terbaik untuk Sofia dan Papa juga Mama”.
Aku tertunduk, tah sejak kapan air mata ini berada dipipiku. Tah apa yang kini ada dalam fikiranku. Sepatah katapun tak keluar dari bibirku.
“Pa, Ma, Sofia permisi sebentar ya, nanti kita lanjutkan lagi bahas masalah ini”. Aku pamit pada kedua orang tuaku karna tak kuat lagi menahan air mata ini.
“Iya sayang”. Ucap mama sambil melepaskan genggaman tangannya yang sedari tadi erat menggenggam tanganku.
Ku kunci pintu kamarku, kuletakkan mukenah yang tadi aku bawa ke masjid, ku buka kerudungku, perlahan ku rebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Fikiranku melayang jauh entah kemana. Terngiang ditelingaku kata-kata yang pernah diucapkan Dirga, bahwa dia akan segera menikahiku saat dia kembali dari tanah suci Mekah, terngiang lagi kata-kata yang baru saja diucapkan Papa. Ya Allah apa keputusan yang harus kuambil?. Malam ini semuanya berkecamuk diotakku, terasa lelah seluruh tubuh dan fikiran ini, rasa kantuk pun bergelayutan dipelupuk mataku yang mengantarkanku untuk tertidur.
Pukul 2.30 dini hari. Terjaga kudari tidurku, segera ku ambil air wudhu, kukerjakan sholat sunah tahajud 2 raka’at, kutuangkan segala keluh kesah dalan fikiran ini, kuceritakan semuanya pada sang pencipta bumi dan seluruh isinya ini, ku mohon petunjuk pada-Nya.
“Ya Allah, jika memang Dirga adalah jodoh hamba, tolong dekatkan dia, beri kami titik terang tentang keberadaannya, hamba masih menunggunya. Tapi jika dia memang bukan jodoh yang kau pilihkan buat hamba, bantulah hamba membuka pintu hati ini untuk hati yang baru yang ingin bertamu dihati hamba, Amin”.
Satu minggu setelah kukerjakan sholat tahajud 3 malam berturut-turut, kini fikiran ku tentang Dirga sedikit menjauh, apa memamng bukan Dirga jodohku?
Telah kuajak bicara kedua orang tuaku, bahwa aku setuju untuk dikenalkan pada anak teman Papa, mungkin memang ini jalan yang harus aku tempuh.
“Aku Roby”. Begitulah dia memperkenalkan namanya padaku. Hari ini Roby dan keluarganya datang berkunjung kerumahku. Suasana bahagia begitu pekat diwajah Papa, karna sudah beberapa tahun papa tak bertemu dengan Papa Roby.
“Sofia”. Jawabku sambil tersenyum. Awal pertama pertemuan singkat itu mampu membujuk hatiku untuk mengenalnya lebih jauh, tah ini memang petunjuk atas segala do’a-do’aku selama ini.
Selang waktu tiga bulan aku menjajaki perkenalan dengan Roby, jujur hatiku sudah melekat padanya, begitupun dia. Sedikit demi sedikit sudah bisa ku baca sifatnya. Baik, perhatian dan lebut itulah penilaian pertamaku padanya. Mungkin aku memang harus benar-benar bisa menerimanya sebagai pengganti Dirga dihati ini. Karna sampai sekarang sedikitpun kabar Dirga tak pernah terdengar.
Genap enam bulan setelah perkenalan aku dan Roby, kini janur kuning telah melengkung didepan rumahku. Pelaminan telah berdiri gagah diteras rumahku,seluruh sanak keluargaku dan keluarga Roby telah berkumpul dirumahku. Hiruk pikuk ibu-ibu yang memasak untuk hidangan pesta sudah mulai terdengar, gelak tawa anak-anak kecil adik-adik dan sepupu-sepupuku pun semakin ramai terdengar. Hari ini Ijab dan Kabul akan dibacakan, sementara resepsinya akan diselenggarakan esok hari.
Kukenakkan kebaya putih seminggu yang lalu baru ku beli bersama Roby. Kerudung putih pula kini telah melekat diatas kepalaku dengan perpaduan kerudung kuning emas yang melingkar dikepalaku. Kak Ratih, juru riasku sangat sibuk mendandaniku secantik mungkin, dengan polesan make-up terbaiknya.
Kini selesai sudah kak Ratih mendandaniku, aku berdiri didepan kaca sambil memutar tubuhku, “aku cantik juga” gumamku didalam hati sambil tersenyum.
Acara ijab Kabul dilaksanakan dirumahku. Seluruh sanak keluarga telah duduk dengan rapi, kedua orang tua Dirga juga ikut menyaksikan acaraku hari ini, Roby juga sudah menungguku, aku keluar dari kamar bersama sahabat-sahabatku, dan duduk ditempat yang telah disediakan untukku.
Acara akan segera dimulai, Papa dan Roby pun sudah berlatih kefasihan membaca ijab dan Kabul, mereka sama-sama gugup. Makhlum ini kali pertama mereka melakukan acara ini, aku istri pertama bagi Roby yang InsyaAllah satu untuk selamanya, dan aku juga anak tunggal bagi papa.
“Assalamu’alaikum”. Sapa seseorang dari pintu depan rumahku.
“Walaikunsalam”. Jawab kami hampir serentak bersama seisi rumah.
Dua orang perempuan dan dua orang laki-laki perlahan masuk kerumahku setelah dipersilahkan masuk oleh pamanku yang melihat mereka keruang depan. Ya Allah, serasa rontok seluruh tulangku melihat salah satu dari mereka. Kukucek mataku, tetap sama, Dirga?? Hampir tak keluar suaraku menyebut namanya. Orang tua dan sanak saudaraku yang mengenal Dirga juga tak berkutik sedikitpun, sementara ibu Dirga langsung jatuh pingsan, suasana berubah jadi hening, Dirga juga belum bicara apa-apa.
Tante ku segera mengambil air putih untuk kami semua. Dirga dan tiga orang lainnya itu dipersilhakan duduk, ibu Dirga kini juga sudah siuman dari pingsannya. Sedikit-demi sedikit suasana mulai mencair.
“Apa kabar Sofia?”. Dirga memulai meleburkan suasana tegang ini.
“Baik, dimana kamu selama ini Dirga?”. Jawabku sambil menangis. Dirga tak menjawab apa-apa, dia tertunduk.
“Maaf semuanya, perkenalkan saya Herman, ini istri saya Tanti, dan ini putri kami Yuni yang merupakan istri dari Dirga”. Suasana kembali menegang. “Maafkan saya yang telah menikahkan anak saya dengan Dirga. Satu setengah tahun yang lalu saat saya memancing ikan di sungai, saya menemukan Dirga dalam keadaan pingsan dan masih menyandang sebuah tas tergeletak dipinggir sungai. Lalu saya membawanya pulang dan merawat luka-lukanya. Sepertinya dia baru saja mengalami kecelakaan. Tapi setelah sadar, Dirga tak ingat siapa namanya dan siapa dirinya, hingga kami tak tau mau mengantarkannya kemana. Dia meminta pada kami untuk mengizinkannya tinggal dirumah kami. Karna kami kasihan, akhirnya kami izinkan Dirga tinggal dirumah kami. Seperti yang orang bilang, kalau cinta itu adalah anugrah terindah dari Allah. Dirga dan Yuni sama-sama telah memikatkan hati meraka satu sama lain. Hingga setahun setelah itu saya menikahkan Dirga dan Yuni atas permintaan Dirga sendiri yang memang telah sepakat dengan Yuni. Tapi tiga bulan setelah mereka menikah, Dirga mengalami kecelakaan yang menyebabkan seluruh ingatannya kembali walaupun dengan perlahan. Saat ingatannya benar-benar pulih. Barulah Dirga bercerita tentang keluarganya dan seorang gadis yang ia tinggalkan sebagai tunangannya. Oleh sebab itulah saya mengantarkan Dirga kesini dan memberikan penjelasan untuk ini semua”. Jelas pak Herman panjang lebar.
Suasana tetap saja dingin, tak ada terdengar suara kecuali isak tangis kami semua termasuk Dirga.
“Awalnya aku merasa sangat bersalah Sofia, tapi kini aku bisa sedikit tersenyum. Kamu telah menemukan penggantiku, semoga kita bisa sama-sama bahagia dengan kehidupan baru kita. Sofia, ini adalah oleh-oleh yang aku bawa dari Mekkah yang khusus aku persembahkan untukmu, walaupun sekarang sudah tak berarti, tapi setidaknya ini bisa sebagai tanda persahabatan kia”. Kata Dirga sambil mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam sebuah tas.
Aku tak bicara apa-apa, kuambil bungkusan itu dan segera kubuka, sebuah Sajadah berwarna Hijau yang merupakan warna kesukaanku, dengan bordiran disudut kanan sajadah itu bertuliskan “Dirga dan Sofia”. Tanpa aku sadari air mataku menetes diatas sajadah itu, tapi semuanya sudah sudah berakhir aku dan Dirga sama-sama sudah memuliki kehidupan yang baru.
Ku perkenalkan Roby pada Dirga dan dia perkenalkan Yuni padaku. Dan acara pernikahanku segera dilanjutkan, Dirga, yuni dan kedua orang tuanya juga ikut menyaksikan.
Jalan hidup memang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tapi itulah yang sebenarnya hidup, ada tawa dalam tangis, ada duka dalam bahagia. Setiap liku hidup, pasti juga ada jalan lurus dengan pemandangan indah. Tergantung bagaimana sudut pandang kita menikmati hidup.
Kebahagiaan juga tak pernah memilih-milih orang tempat yang akan ia singgahi, selagi kita mencoba semuanya pasti akan indah pada waktunya. Dulu kutampung air mata kesedihan, dan hari ini kutampung air mata bahagia.
“Selamat bahagia Dirga, dan inyaAllah aku juga akan bahagia bersama dia yang kucinta, Roby”.


No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here