Kisah Sebuah Rumah Tua Yang Ku Tempati - Cewek Hot - Cewek Panas - Cewek Indonesia - Cewek Abg Plus - Pijit Plus

Breaking

Home Top Ad


Post Top Ad

Responsive Ads Here

Monday, August 13, 2018

Kisah Sebuah Rumah Tua Yang Ku Tempati

Kisah Sebuah Rumah Tua Yang Ku Tempati

 http://detikabg.blogspot.com



Panorama nyata dalam kehidupanku hanyalah sebuah rumah tua yang kini aku tempati bersama ayah dengan abang dan adikku. Ayah yang setiap hari berjibaku dengan parang, gerjaji, palu dan sebagainya berprofesi sebagai kuli bangunan. Itupun hanya membantu-bantu pak Somat yang kuli sebenarnya. Sebelumnya sedikitpun ayah tak pandai memegang alat-alat perlengkapan kuli itu, tapi karna desakan ekonomi untuk menghidupi keluarganya, ayah harus berusaha belajar itu semua.
Dulunya ayah adalah karyawan swata disebuah pabrik yang hanya ada satu-satunya dikotaku. Tapi sejak pabrik itu mengalami kebangkrutan hingga harus tutup, semua karyawan terpaksa harus berhenti bekerja termasuk ayah.
Bang Andi sebagai anak sulung dikeluarga ini sekarang hanyalah seorang pekerja bengkel yang bekerja dibengkel pak RT yang berada tah jauh dari rumahku. Dia rela berhenti sekolah saat menyelesaikan Sekolah Menegah Pertama hanya demi aku, agar aku bisa melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama dan Risma adik bungsu kami bisa masuk Sekolah Dasar. Ayah tak mampu jika harus membiayai kami bertiga, karna tentu saja biaya di Sekolah Menengah Atas lebih mahal. Oleh karna itulah bang Andi mengalah dan bekerja untuk membantu meringankan beban ayah. Sementara ibu sudah lama meninggal, yaitu saat melahirkan Risma.



Tamat SMP aku melanjutkan pendikan di sebuah SMA negri yang ada di ibukota. Disini aku tinggal di rumah kos bersama seorang teman sekolah bernama Caca yang akhirnya menjadi sahabatku. Keras hatiku ingin bersekolah lah yang membawa aku sampai dijantung ibukota. Awalnya ayah keberatan karna takut nantinya sekolahku akan putus ditengah jalan jika kekurangan biaya. Tapi bang Andi bersedia membantu ayah membiayaiku sekolah.
Aku ingin sekolah, nantinya aku ingin kuliah, dan kelak aku ingin jadi guru bahkan jadi dosen universitas, aku ingin buat ayah dan abang bangga dengan semua pengorbanan mereka. Kalimat itulah yang jadi pemacu semangatku mulai sejak SMP hingga sekarang. Walaupun kerap kali aku tidak ada uang saku, tapi aku tetap semangat belajar demi cita-citaku.
Deeep… detak jantungku seakan berhenti saat membaca surat dari ayah. “Nelvi, setelah ijazahmu keluar, pulanglah nak!! Ayah rasa tamat SMA tidak terlalu buruk bagimu. Nanti kamu bisa mencari pekerjaan seadanya disini. Ayah sudah sering sakit-sakitan dan tidak bisa lagi bekerja. Kasihan abangmu jika harus menghidupi kita semua. Dia laki-laki, suatu saat dia pasti berkeinginan juga untuk menikah dan punya keluarga sendiri. Abangmu harus mengumpulkan uang juga untuk itu, jika selalu membiayai kita, bagamana abangmu bisa menabung? Jika kamu tak mau pulang, mau makan apa disana? karna ayah takkan bisa lagi mengirimkan uang. Pulanglah, biar kita bisa berkumpul bersama lagi”.
Tuhan, bolehkan aku menangis saat ini? Jika sampai disini aku menyerah, bagaimana dengan cita-citaku? Bagaimana bisa aku membuat keluargaku bangga?
Soneta kehidupan bagiku sebuah nyanyian kepiluan. Menggelandang rasa ditengah hiruk pikuknya zaman. Hidup itu sulit, hidup itu penuh perjuangan, hidup itu sebuah drama. Seri drama apakah kehidupanku sekarang tuhan? Apa mungkin semuanya akan berakhir bahagia seperti sinetron-sinetron yang biasa aku lihat? Ataukan akan berakhir dengan sebuah tangisan kesedihan? Entahlah, hanya engkau yang tau.
Aku putuskan untuk tetap bertahan dan tidak pulang ke kampung halaman. Aku tetap mendaftar kuliah walaupun dukungan dana dari kelurga takkan ada lagi. Sekarang aku mulai bekerja sebagai guru les privat beberapa orang anak SD. Dari situlah awalnya aku mendapatkan uang untuk biaya kuliahku. Semakin padat jadwal kuliahku, semakin tak ada waktuku untuk istirahat, karna setelah selesai kuliah, aku harus mengajar les privat. Disinilah awalnya kesehatanku mulai menurun dan pola makan sudah tak terjaga.
Bruukk… semuanya gelap, hening, terasa sangat damai.
“Kamu sudah sadar Nelvi?”. Caca membantuku duduk dan memberikan segelas air putih padaku. “kamu kenapa? Lihatlah tubuhmu sudah sangat kurus sekarang, wajahmu pucat. Sudahlah Nelvi, jangan keras kepala, kurangi saja jadwal privat itu, sisakan saja beberapa, jangan kau ambil semuanya, kasihan tubuhmu”.
“Jika tak begitu, bagaimana aku membiayai kuliahku Ca? Bukankah kau juga tu kalau aku tak pernah mendapatkan kiriman biaya kuliah seperti dirimu?”
“Aku mengerti, tapi setidaknya perhatikan juga dirimu, jika kau sakit keluargamu dikampung juga pasti akan khawatir”.
Aku hanya membalas dengan senyuman pada Caca, dia memang sudah lama memintaku untuk mengurangi jadwal privatku agar tak mengganggu kesehatanku. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itulah jalan untuk aku bisa bertahan kuliah. Kemiskinan takkan menyurutkan niat dan cita-citaku, aku akan terus berjuang hingga keluargaku bangga memilikiku. Sebagai seorang sahabat, Caca sangat perhatian padaku, tak jarang juga dia membantuku membayar iuran-iuran dikampus, bahkan pernah membayarkan uang semesterku, karna uang yang ku dapat dari mengajar les privat memang tak seberapa. Caca seperti superhero dalam kehidupanku.
Kesengsaraan, adakah kau suka padaku? Mengapa kau tak pernah mau beranjak dariku? Selalu saja menguntitku, apa kau tak bosan selalu aku abaikan? Aakkh, kau sungguh keras kepala menggangguku, mengapa kau tak pergi saja? Apa mungkin kau juga yang mengusir kebhagiaan agar tak mendekatiku? Mengapa? Kau cemburu padanya? Kau egois sekali!! Padahal aku sangat menyukai kebahagian.
Gelap lagi duniaku, hening lagi.
“Ini yang terakhir kali aku menunggui kamu sadar dari pingsanmu Nel, lain kali takkan ku urus lagi orang keras kepala sepertimu”. Caca mulai marah padaku. “Nanti sore kau harus ikut aku kerumah sakit, aku penasaran serendah apakah darahmu, aku perhatikan akhir-akhir ini tubuhmu juga ajak menguning, selemah apakah kondisimu sampai kau harus selalu pingsan, dan tadi kau juga mimisan, biar sekalian nanti kubelikan multivitamin untukmu”.
Aku diam saja, dan memang benar ku rasakan ada yang aneh dengan tubuh ini. Sama persis seperti yang dikatakan Caca padaku. Aku menuruti kata-kata Caca untuk periksa ke Rumah sakit sore ini dan dia ikut menemaniku.
“Dokter bilang apa Nel??”
“Katanya aku hanya terlalu lemah Ca, disuruh banyak istirahat”
“Tu kan, kamunya terlalu keras kepala”
Aku melemparkan senyuman pada Caca. Tah apa arti senyuman ini, aku tak berani mengatan yang sebenarnya bahwa aku terkena penyakit Liver. Ya tuhan, apa lagi ini?
Nyanyian angin terasa sangat menggelitik hati, rasanya aku rindu pada kampung halamanku, rindu keluargaku, rindu suasana desa. Tapi aku tengah sibuk menyusun skripsi dan sibuk mengejar beasiswa untuk S2. Ayah, tunggulah, aku akan berusaha mendapatkan beasiswa itu, aku akan tunjukkan pada ayah, dan aku akan buat ayah dengan bangga bilang pada orang-orang bahwa aku adalah anakmu.
Ku tenun masa menjadi indah, ku rajut mimpi menjadi nyata. Hey kebahagiaan, jika kau tak mau menemuiku, tunggu saja aku yang akan menjemputmu.
Serasa mimpi bagiku saat aku berhasil memakai pakaian sarjana ini, memegang sebuah ijazah dengan embel-embel S1. Dan pengajuan Beasiswaku di terima. Nilai kelulusanku juga yang paling tinggi tahun ini. Ayah, abang dan adik datang untuk ikut merasakan kebahagiaan ini.
Saat hati bicara kalah, maka kau akan kalah. Saat hati bicara gagal, maka kau akan gagal. Tapi saat hatimu bicara kau bisa, kau bisa, kau bisa, maka kau akan bisa dan berhasil.
Sekarang aku sudah mengajar disebuah Sekolah Dasar, aku bisa mewujudkan cita-citaku menjadi guru, sambil senjalani pendidikanku mengambil gelar S2 dengan jalur beasiswa.
Tapi sampai kapankan aku bisa berkenalan dengan kebahagiaan ini? Rasanya baru sebentar, tapi sakit yang mendera tubuhku sangat menggangguku. Dokter bilang, aku harus melakukan transplantasi hati secepatnya. Keluargaku tak ada yang tau tentang penyakitku. Rasanya bibir ini tak mampu mengatakan pada mereka. Hanya Caca yang perlahan-lahan kuberi tau karna kecurigaannya melihatku slalu minum obat. Dialah yang akhirnya selalu merawatku, apalagi sekarang aku sering keluar masuk rumah sakit. Kurasa cukup sudah pengorbanan seorang sahabat seperti Caca.
Kujalani hari-hari dengan semangat,, sebagai guru SD aku sangat senang bisa berbagi dengan mereka. Tak ku sangka kehidupanku yang begitu rumit bisa mengantarkanku pada masa-masa seperti ini. Walaupun aku tak tahu brapa lama lagi aku menikmati ini semua, apa masih bisa hingga tahun depan depan? Bulan depan? Minggu depan? Lusa? Besok? Atau hanya hingga hari ini? Entahlah, aku tak mau berandai-andai.



Duniaku kelam lagi, hening lagi, sepi sekali.
Perlahan kubuka kedua mataku, samar-samar ku lihat wajah-wajah orang yang kucinta. Ada ayah, bang Andi, Risma dan Caca. “Ayah? Kapan ayah sampai disini? Ayah kenapa menangis? Ayah ku tak tampan lagi kalau menangis seperti ini”. Mereka semua terlihat kecewa dengan tindakanku yang tak memberi tahu mereka tentang penyakitku. “Ayah jangan khawatir, ini semua tak kan apa-apa, tak kan seburuk yang ayah kira, Nelvi sehat kok yah, apalagi saat melihat ayah tersenyum bangga pada Nelvi”. Ayah semakin menangis mendengar kata-kataku. Dia tak mampu bicara apa-apa lagi.
Rasanya sudah terlalu jauh hati ini bertahan, mungkin dia sangat lelah. Adakah yang ingin kau katakan padaku hati?apakah kau masih sanggup menemaniku?
Hening sekali. Sepi sekali. Senyap sekali. Gelap sekali. Sudah dimanakah aku berada? Apa aku akan bertemu ibu? Ayah ada dimana? Adakah kita akan bertemu lagi ayah? Caca, adakah sahabat sepertimu disana?


No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here