Cerita seks 2019 terbaru Tetek kamu eanak neng
Membaca
judul cerita ini, saya menebak Anda membayangkan suatu usaha jasa
pelayanan potong rambut dan perawatan kecantikan yang juga ternyata
menyediakan pelayanan "lebih", pelayanan seks. Bayangan Anda benar.
Sering kita mendengar, salon-salon tertentu menyediakan pelayanan lebih
ini di samping pelayanan standar mereka. Hanya salon yang mana
diperlukan "referensi" dari orang yang telah men
galaminya. Salon-salon semacam itu tentu saja tidak terbuka menginformasikan pelayanan plus-nya itu. Informasi itu datangnya dari mulut ke kuping (bukan dari mulut ke mulut yang berarti: ciuman)Begitu juga saya. Setelah mendapatkan informasi bahwa salon "Sukma" jalan Sudirman 117 Bandung menyediakan pelayanan lebih, bersama seorang kawan saya mengunjunginya, siang hari. Informasi yang saya dapatkan adalah bahwa petugas salon itu umumnya bersedia "dipegang-pegang" dan bahkan mau meng-onani kita.
galaminya. Salon-salon semacam itu tentu saja tidak terbuka menginformasikan pelayanan plus-nya itu. Informasi itu datangnya dari mulut ke kuping (bukan dari mulut ke mulut yang berarti: ciuman)Begitu juga saya. Setelah mendapatkan informasi bahwa salon "Sukma" jalan Sudirman 117 Bandung menyediakan pelayanan lebih, bersama seorang kawan saya mengunjunginya, siang hari. Informasi yang saya dapatkan adalah bahwa petugas salon itu umumnya bersedia "dipegang-pegang" dan bahkan mau meng-onani kita.
"Silakan
duduk, Mas..", sambut seorang wanita setengah baya sambil tersenyum dan
menunjukkan ruangan di mana kami berdua duduk. Di ruangan depan yang
cukup luas itu berjajar kursi-kursi untuk potong rambut beserta
perlengkapannya. Di sampingnya, terdapat ruang tamu tak begitu luas dan
menjorok ke dalam agak tersembunyi. Di ruang tamu ada bar kecil dan
berjajar sofa yang telah diduduki oleh sekitar 7 wanita muda. Kutebarkan
pandanganku ke wanita-wanita muda itu. Ada yang lagi makan baso, ada
yang merokok, memotong kukunya sendiri, yang bengong saja, dan ada yang
sedang membaca majalah. Segera saja aku "mengevaluasi", 3 orang di
antaranya menarik perhatianku karena tergolong cantik dan putih. Yang
pertama, tinggi, putih dan cantik. Alis tebalnya dibiarkan lebat tak
dikerik, kakinya panjang mulus dan rok mininya memperlihatkan sepasang
paha yang berbulu lembut "berbaris" rapi, buah dada yang hanya sedikit
menonjol tipe peragawati. Yang kedua, lebih putih, sama-sama mulus,
pendek mungil dada sedang. Ketiga, sama putihnya dengan yang pertama,
tingginya di antara keduanya, tak begitu cantik, dada menonjol mempesona
dibalut baju ketat. Keempat orang sisanya tak perlu kuperhatikan,
karena "di luar perhitungan".
Aku
sedang menimbang-nimbang mana yang akan kupilih. Kalau ingin menikmati
buah dada, jelas yang ketiga memenuhi syarat. Jika ingin paha dan kaki
indah, tentu yang pertama. Kalau suka kulit yang betul-betul putih,
pilih yang kedua. Kalau sudah memilih, terus gimana? Ruangan potong
rambut itu terbuka, mana bisa pegang-pegang, apalagi diloco?
"Mau potong rambut, atau dirawat, Mas?" tanya wanita paruh baya tadi.
"Dirawat?" celetuk temanku.
"Iya.., rawat muka, biar bersih, halus. Ini perawatnya", jawabnya sambil menunjuk ke wanita-wanita muda itu. "Mau sama Susy, Ina, Euis, Tini, pilih aja" lanjutnya.
"Dirawatnya di situ?" aku membuka suara sambil menunjuk ke kursi cukur.
"Engga, di dalam ada ruang rawat", jawabnya.
Kembali kami terdiam menimbang. Mata kawanku sedang "meneliti" wanita ketiga. Rupanya dia suka buah dada.
"Mau sama Euis, Mas" kata wanita tadi kepada temanku. Si dada molek itu Euis namanya. Kawanku mengangguk.
"Yuk ke dalam. Antar dong Euis!" Mereka berdua beranjak, menyeberangi ruang depan menuju pintu di belakang.
"Mas sama siapa?" Aku menunjuk si "peragawati" yang ternyata Ina namanya. Aku penasaran ingin menikmati paha mulus berbulu halusnya.
"Mau potong rambut, atau dirawat, Mas?" tanya wanita paruh baya tadi.
"Dirawat?" celetuk temanku.
"Iya.., rawat muka, biar bersih, halus. Ini perawatnya", jawabnya sambil menunjuk ke wanita-wanita muda itu. "Mau sama Susy, Ina, Euis, Tini, pilih aja" lanjutnya.
"Dirawatnya di situ?" aku membuka suara sambil menunjuk ke kursi cukur.
"Engga, di dalam ada ruang rawat", jawabnya.
Kembali kami terdiam menimbang. Mata kawanku sedang "meneliti" wanita ketiga. Rupanya dia suka buah dada.
"Mau sama Euis, Mas" kata wanita tadi kepada temanku. Si dada molek itu Euis namanya. Kawanku mengangguk.
"Yuk ke dalam. Antar dong Euis!" Mereka berdua beranjak, menyeberangi ruang depan menuju pintu di belakang.
"Mas sama siapa?" Aku menunjuk si "peragawati" yang ternyata Ina namanya. Aku penasaran ingin menikmati paha mulus berbulu halusnya.
Masuk pintu belakang itu kami belok kiri, terdapat ruang-ruang bersekat dengan pintu dari kain korden, mirip ruang panti pijat.
"Masuk Mas" sapa Ina.
Di ruangan yang tak luas itu terdapat satu kursi tinggi sepanjang dipan beralaskan jok busa warna hijau tua. Separuh panjang kursi itu berlipat menyudut ke atas, sehingga kalau aku rebahan di situ mirip rebahan di kursi-malas. Kemudian ada rak yang berisi peralatan salon, juga ada baskom. Ini adalah kunjungan pertamaku, jadi aku tak tahu mau ngapain atau diapain. Atau langsung serang saja? Jangan. Lihat situasi dulu.
"Masuk Mas" sapa Ina.
Di ruangan yang tak luas itu terdapat satu kursi tinggi sepanjang dipan beralaskan jok busa warna hijau tua. Separuh panjang kursi itu berlipat menyudut ke atas, sehingga kalau aku rebahan di situ mirip rebahan di kursi-malas. Kemudian ada rak yang berisi peralatan salon, juga ada baskom. Ini adalah kunjungan pertamaku, jadi aku tak tahu mau ngapain atau diapain. Atau langsung serang saja? Jangan. Lihat situasi dulu.
"Sering ke sini, Mas?" tanya Ina sambil mempersiapkan peralatan membelakangiku. Sepasang kaki itu memang mulus.
"Baru kali ini" jawabku.
"Oh.., ya" katanya, masih membelakangiku. Walaupun tubuhnya tinggi langsing, Ina punya kelebihan lain, pantatnya. Tak begitu lebar, menonjol kebelakang, dan membulat. Ina mengambil "baju" dengan model seperti kimono warna hijau muda polos."Mas ganti pakai ini" perintahnya.
Aku melepas baju dan singletku sekaligus lalu memakai kimono. Ina membantuku. Alisnya yang tebal menambah cantiknya.
"Singletnya engga usah dilepas" katanya.
"Biarin aja, udah telanjur"
"Celananya dilepas juga, dalemnya engga, lho" perintah Ina lagi. Aku nurut saja. Tiba-tiba muncul isengku. CD-ku kupelorotkan juga, Ina tidak tahu kelakuanku ini. Dalam kondisi yang hanya mengenakan kimono dan berduaan di kamar dengan cewek, aku jadi terangsang. Penisku mulai bangun.
"Naik, Mas"
Bulatan pantat itu menggairahkan. Ina kupeluk dari belakang. Kutekan penisku di bulatan indah itu. Kini aku benar-benar tegang.
"ee.., disuruh naik malah.., kita rawat dulu", katanya sambil melepas pelukanku.
"Baru kali ini" jawabku.
"Oh.., ya" katanya, masih membelakangiku. Walaupun tubuhnya tinggi langsing, Ina punya kelebihan lain, pantatnya. Tak begitu lebar, menonjol kebelakang, dan membulat. Ina mengambil "baju" dengan model seperti kimono warna hijau muda polos."Mas ganti pakai ini" perintahnya.
Aku melepas baju dan singletku sekaligus lalu memakai kimono. Ina membantuku. Alisnya yang tebal menambah cantiknya.
"Singletnya engga usah dilepas" katanya.
"Biarin aja, udah telanjur"
"Celananya dilepas juga, dalemnya engga, lho" perintah Ina lagi. Aku nurut saja. Tiba-tiba muncul isengku. CD-ku kupelorotkan juga, Ina tidak tahu kelakuanku ini. Dalam kondisi yang hanya mengenakan kimono dan berduaan di kamar dengan cewek, aku jadi terangsang. Penisku mulai bangun.
"Naik, Mas"
Bulatan pantat itu menggairahkan. Ina kupeluk dari belakang. Kutekan penisku di bulatan indah itu. Kini aku benar-benar tegang.
"ee.., disuruh naik malah.., kita rawat dulu", katanya sambil melepas pelukanku.
Aku
telentang di kursi panjang. Ina berdiri di sisi bagian kepalaku mulai
membersihkan mukaku dengan kapas. Posisi yang sulit untuk "kurangajar".
Aku mulai mengutuki temanku pemberi info. Katanya bisa pegang-pegang dan
diloco. Tadi coba kupeluk, ditolak. Tapi sempat juga sebelah tanganku
menggapai pahanya.., halus..! Hanya sebentar, Ina langsung menepis
tanganku. Tak mau diganggu selagi kerja. Mungkin nanti kalau
rawat-merawatnya selesai, kataku dalam hati menghibur diri. Sekarang
mukaku dilumuri dengan cream, lalu dibersihkan dengan air. Aku iseng
lagi. Seolah tak sengaja, aku menyingkap kimonoku sehingga penis
tegangku mencuat. Sekilas Ina memandang milikku itu.
"Iihh.., nakal.., ya", katanya sambil mencubit pipiku.
Aku bangkit setelah Ina selesai melap mukaku dengan handuk kecil. Kupikir sudah selesai.
"Entar dulu.., belum selesai.."
Kemudian mukaku dilumuri lagi dengan semacam krem tapi agak keras.
"Apa nih..", tanyaku
"Masker. Udah tunggu sampai kering dulu. Jangan gerak dulu Mas, juga jangan ngomong"
"Kenapa?"
"Iihh.., nakal.., ya", katanya sambil mencubit pipiku.
Aku bangkit setelah Ina selesai melap mukaku dengan handuk kecil. Kupikir sudah selesai.
"Entar dulu.., belum selesai.."
Kemudian mukaku dilumuri lagi dengan semacam krem tapi agak keras.
"Apa nih..", tanyaku
"Masker. Udah tunggu sampai kering dulu. Jangan gerak dulu Mas, juga jangan ngomong"
"Kenapa?"
"Supaya maskernya engga rusak. Tunggu sampai kering". Lalu tiba-tiba..
"Geser sono dikit, Mas", Aku menggeser dan Ina ikut naik, rebahan juga di sebelahku. Ini dia.., mulai..!
"Geser sono dikit, Mas", Aku menggeser dan Ina ikut naik, rebahan juga di sebelahku. Ini dia.., mulai..!
Dengan
telentang dan kedua lututnya terlipat, kontan rok mininya tergeser
menampakkan sepasang paha mulusnya dengan utuh. Kubelai pahanya. Kali
ini Ina tak bereaksi menolak. Ah, halusnya bukan main. Paha mulus
berbulu halus memang sedap untuk dielus. Sementara Ina terus mengoceh,
aku tak mendengarkan. Konsentrasiku ke pahanya. Tangannya kuraih
kutuntun ke penisku. Acuh aja ia meremas-remas penisku sambil terus
bicara, seolah "tak terjadi apa-apa". Sementara aku sudah kelimpungan.
Dari paha tanganku pindah ke dadanya. Dada yang kecil, apalagi dengan
posisi telentang begini. Ina memakai gaun terusan yang pendek, dengan
kancing di tengahnya sampai ke bawah. Kubuka 3 biji kancing teratasnya.
Ina "mengizinkan". Tanganku menyusup kutangnya mencari-cari puting
susunya. Bicaranya berhenti setelah aku meremasi dada dan memelintir
putingnya. Tapi gaya tak acuhnya tetap saja, meskipun ujung jari-jariku
merasakan puting itu mulai mengeras. Demikian juga ketika aku menggeser
kutangnya ke atas sehingga sepasang buah dada putih mulus itu terbuka.
Seolah tak terjadi apa-apa, padahal tangannya mulai mengocok penisku.
Baru setelah aku bangkit hendak menindihnya, Ina berreaksi.
"Eehh,
entar dulu. Ini belum kering", katanya menunjuk mukaku. Aku kembali
telentang. Ina masih meneruskan "pekerjaan" di penisku. Tanganku yang di
dadanya beralih ke bawah, menyingkap roknya lebih ke atas sehingga CD
dan perutnya yang rata dan putih itu tampak. Kuusap perutnya, lalu geser
kebawah tanganku menyusupi CD-nya. Amboi.., bulu-bulu itu lebat sekali!
Dia tetap saja acuh, meskipun telunjukku telah menekan-nekan
clitorisnya! Dia malah memegang-megang masker di mukaku sementara aku
menggosoki "pintu" yang sedikit membasah."Udah kering.., bersihin
dulu..", katanya sambil tak acuh menarik tanganku dari CD-nya.
Masker
di mukaku dilepasnya perlahan. Bentuknya seperti plastik transparan.
Dibilasnya lagi mukaku. Tiga kancing gaunnya masih terbuka. Kutangnya
hanya menutupi sebelah dadanya sehingga mataku lebih jelas menikmati
puting merah jambunya. Lalu mukaku dilap, dan selesai. Ina naik lagi.
Kubuang kimonoku, dengan telanjang bulat aku menindih tubuhnya. Penisku
tepat di selangkangannya, mulutku merayapi buah dadanya dan berhenti di
puting untuk menyedot-nyedot.
Setelah puas mengeksplorasi dadanya, aku bangkit mermaksud melanjutkan membuka kancing gaunnya.
"Jangan.., engga boleh bugil".
"Saya 'kan udah bugil".
"Mas boleh. Kalau nanti ada inspeksi, saya bisa dipecat".
"Gimana dong.., saya pengin".
"Udah.., gini aja.., yuk saya keluarin", Ina bangkit meraih hand-body lotion. Aku disuruh telentang. Aku tahu maksudnya, tapi aku menolak. Aku ingin hubungan seks.
"Boleh aja.., asal saya engga bugil dan Mas pakai kondom".
"Iiyyaalah", apapun mau asal bisa masuk. Udah tegang begini.
"Mana kondomnya biar saya pakein.."
Inilah masalahnya. Niatnya tadi hanya mau pegang-pegang dan dikocok, Aku tidak bawa "perlengkapan"."Saya engga bawa, mintain sana deh.."
"Ngaco.., engga bisa dong, ketahuan gawat.."
"Minta temennya 'kan bisa"
"Engga bisa.., Mas. Di sini engga boleh gituan.."
"Engga usah pakai kondomlah.."
"Engga mau"
"Jangan.., engga boleh bugil".
"Saya 'kan udah bugil".
"Mas boleh. Kalau nanti ada inspeksi, saya bisa dipecat".
"Gimana dong.., saya pengin".
"Udah.., gini aja.., yuk saya keluarin", Ina bangkit meraih hand-body lotion. Aku disuruh telentang. Aku tahu maksudnya, tapi aku menolak. Aku ingin hubungan seks.
"Boleh aja.., asal saya engga bugil dan Mas pakai kondom".
"Iiyyaalah", apapun mau asal bisa masuk. Udah tegang begini.
"Mana kondomnya biar saya pakein.."
Inilah masalahnya. Niatnya tadi hanya mau pegang-pegang dan dikocok, Aku tidak bawa "perlengkapan"."Saya engga bawa, mintain sana deh.."
"Ngaco.., engga bisa dong, ketahuan gawat.."
"Minta temennya 'kan bisa"
"Engga bisa.., Mas. Di sini engga boleh gituan.."
"Engga usah pakai kondomlah.."
"Engga mau"
Akhirnya
aku mengalah. Aku berbaring telentang. Ina menuangkan lotion ke
tangannya, lalu mulai meng-onani penisku, sementara tanganku meremasi
dadanya. Ina memang sudah ahli melakukan masturbasi. Tangannya trampil.
Terkadang meremas, mengurut, mengocok pelan, mempercepat, pelan lagi.
Aku merem-melek dibuatnya.., Sampai tiba saatnya.., aku menumpahkan
maniku ke perutku sendiri..!Dengan cermat Ina membersihkan kelamin dan
perutku dengan handuk basah.
"Makasih", katanya ketika aku menyelipkan uang yang lebih dari jumlah yang tertulis di bon.
"Datang lagi ya.., Mas.., jangan lupa kondomnya". Sambil keluar ruangan, tak lupa aku juga memberi uang kepada wanita paruh-baya penerima tamu itu."Jangan kapok.., ya Mas", sahutnya.
"Engga", mukaku menjadi betul-betul bersih.
"Makasih", katanya ketika aku menyelipkan uang yang lebih dari jumlah yang tertulis di bon.
"Datang lagi ya.., Mas.., jangan lupa kondomnya". Sambil keluar ruangan, tak lupa aku juga memberi uang kepada wanita paruh-baya penerima tamu itu."Jangan kapok.., ya Mas", sahutnya.
"Engga", mukaku menjadi betul-betul bersih.
Belum
sampai seminggu aku kembali memasuki ruang tamu yang agak tersembunyi
itu. Begitu melihatku, Ina langsung menghampiriku dan duduk di sebelahku
rapat-rapat. Tangannya di atas pahaku, Aku merangkul bahunya.
"Dirawat lagi, Mas" ajak Ina, kemudian mulutnya mendekati kupingku, "Saya bawa kondom", bisiknya.
"Saya bawa juga".
"Hayoo.., bisik-bisik apa nih", sahut kawan-kawannya.
"Ada deh..", Sahut Ina.
"Kawannya mana Mas..", Kali ini aku memang datang sendirian.
"Ada. Entar lagi datang".
"Dirawat lagi, Mas" ajak Ina, kemudian mulutnya mendekati kupingku, "Saya bawa kondom", bisiknya.
"Saya bawa juga".
"Hayoo.., bisik-bisik apa nih", sahut kawan-kawannya.
"Ada deh..", Sahut Ina.
"Kawannya mana Mas..", Kali ini aku memang datang sendirian.
"Ada. Entar lagi datang".
Singkat
cerita, kembali mukaku dirawat Ina. Bedanya, kali ini Ina nurut saja
ketika aku "mengganggunya", walaupun sambil kerja. Dan selama dirawat
muka, penisku tegak terus. Plastik transparan sudah diangkat dari
mukaku, Ina sudah berbaring di sampingku, pakaiannya masih lengkap. Aku
melepas kimonoku, bugil. Lalu kuambil kondon dari saku celanaku di
gantungan. Yang membuatku 'exciting' adalah, begitu aku sudah pegang
kondom, masih telentang Ina langsung memelorotkan celana dalamnya. Hanya
CD yang dilepas, lainnya masih komplit. Lalu diangkatnya roknya sedikit
sampai ke perutnya saja. Bulu kelaminnya memang lebat. Segera saja
jari-jariku menelusuri bulu-bulu lebat itu, terus ke bawah sampai ke
pintu vaginanya, dan kugosok. Tanganku satu lagi sibuk menyingkap
kutangnya. Sementara tangan Ina juga sibuk memasang kondom di penisku.
Saatnya
tiba. Kubuka paha Ina lebar-lebar. Clitori merahnya jelas menonjol ke
depan. Kutempatkan penisku yang sudah "berbaju" tepat di bawah tonjolan
merah itu. Aku masuk. Agak susah juga, karena Ina belum basah rupanya.
Maju mundur sebentar di sekitar pintu, lalu menusuk lagi. "Bleess".
Tekan lagi hingga seluruh batang penisku ditelannya. Berhubungan kelamin
dengan memakai kondom ada plus-minusnya. Kekurangannya, sentuhan penis
tak langsung ke dinding vagina berakibat "rasa" yang beda. Kelebihannya,
bisa lebih lama, dan bebas penyakit. Vagina Ina sebetulnya "masih ada
remnya". Yang membuatku kurang nyaman adalah bangku panjang itu. Ketika
aku memperkuat pompaanku, bangku itu mulai "ribut", sehingga Ina
menahanku khawatir kedengaran ke ruang sebelah. Goyangan pantat Inapun
terbatas, khawatir bunyi. Untuk mengurangi bunyi, logikanya kita harus
meminimalkan sentuhan badan kita pada bangku. Makanya, dengan kedua
tanganku, kuangkat pantat Ina dan kumainkan kocokanku dengan setengah
berlutut. Dengan cara begini ternyata tusukanku bisa lebih efektif. Yang
kemudian membuatku "naik-naik ke puncak gunung", lalu terbang
melayang.. dan, sseerr.., sseerr.., seerr..
Ina
dengan cekatan memberesiku. Dilepasnya kondom yang berisi dari penisku,
kemudian dibungkusnya dengan tissu dan digenggamnya. Kemudian ia
membenahi kutangnya, menutup kancing, dan segera Ina telah rapi kembali.
"Sebentar.., ya.., Mas, buang ini dulu", katanya sambil keluar ruangan dengan menggenggam tissu yang membungkus kondom berisi air maniku. Ina merapikan diri dengan cepat dan lalu keluar ruangan untuk menghilangkan kecurigaan teman-temannya tentang apa yang baru saja kami lakukan, walaupun ia belum mengenakan CD-nya!Aku telah menikmati pelayanan "plus"-nya. Harapanku hanya untuk pegang-pegang lalu di-onani, ternyata aku dapat lebih: hubungan seks.
"Sebentar.., ya.., Mas, buang ini dulu", katanya sambil keluar ruangan dengan menggenggam tissu yang membungkus kondom berisi air maniku. Ina merapikan diri dengan cepat dan lalu keluar ruangan untuk menghilangkan kecurigaan teman-temannya tentang apa yang baru saja kami lakukan, walaupun ia belum mengenakan CD-nya!Aku telah menikmati pelayanan "plus"-nya. Harapanku hanya untuk pegang-pegang lalu di-onani, ternyata aku dapat lebih: hubungan seks.
Sewaktu
aku sudah berberes dan hendak pulang, aku kemukakan komplainku kepada
Ina tentang ketidaknyamanan jika berhubungan kelamin di atas bangku
rawat muka ini.
"Lain kali Mas ambil saja ruang 'studio', di situ ada dipannya", katanya.
"Studio? apaan tuh?".
"Persis kamar aja, ada pintunya yang bisa dikunci, engga seperti ruang ini".
"Dimana?".
"Dari pintu tadi Mas belok kanan, kalau belok kiri kan ke sini", jelasnya.
"Lain kali Mas ambil saja ruang 'studio', di situ ada dipannya", katanya.
"Studio? apaan tuh?".
"Persis kamar aja, ada pintunya yang bisa dikunci, engga seperti ruang ini".
"Dimana?".
"Dari pintu tadi Mas belok kanan, kalau belok kiri kan ke sini", jelasnya.
Benar
juga. Disayap kanan bangunan itu ada 2 kamar yang tertutup. Tapi ada
yang lebih menarik perhatianku dibanding kamar-kamar itu. Seorang wanita
cantik, sangat putih, agak pendek sedang duduk sendirian di sebelah
kamar itu. Rok mininya demikian pendek serta cara duduknya dengan kaki
menyilang mempertontonkan pahanya yang benar-benar putih dan mulus.
Siapa dia? Dalam dua kali kunjunganku ini aku tak pernah melihat wanita
cantik ini. Aku samperin si penerima tamu. Sambil memberi tip, aku
tanyakan perihal si Cantik itu.
"Lia, namanya. Pengin kenalan? yuk".
"Kok tadi saya engga lihat".
"Dia datengnya emang suka agak sore".
"Lia, namanya. Pengin kenalan? yuk".
"Kok tadi saya engga lihat".
"Dia datengnya emang suka agak sore".
Akupun
kenalan sama Lia. Benar-benar cantik. Matanya, hidungnya, bibirnya,
semuanya indah. Kulitnya putih mulus. Sambil ngobrol berbasa-basi,
mataku sering menatap pahanya. Diapun tahu kenakalan mataku ini, tapi
acuh aja. Ingin aku langsung membawanya ke "studio", sayangnya aku tak
punya waktu lagi.
"Oke Lia, entar saya ke sini lagi sama Lia, ya" kataku pamitan sambil menepuk pahanya. Haaluus!
"Boleh. Ditunggu ya..?", sahutnya.
"Oke Lia, entar saya ke sini lagi sama Lia, ya" kataku pamitan sambil menepuk pahanya. Haaluus!
"Boleh. Ditunggu ya..?", sahutnya.
Melihat
wajah dan mulusnya Lia ini, kupikir seharusnya Lia tidak kerja di sini.
Dia lebih pantas sebagai foto model. Kekurangannya hanyalah tubuh Lia
pendek, dan tak remaja lagi. Kutaksir umurnya sekitar 25 -28 tahun.
Barangkali karena kedua faktor itulah makanya Lia "kerja" di
sini..!Gimana ya "rasa"nya Lia?
Sayang sekali Anda tak bisa membuktikan kebenaran kisah nyata saya ini, karena Salon Sukma yang terletak di jalan Sudirman 117, Bandung ini sekarang telah tutup..!
Sayang sekali Anda tak bisa membuktikan kebenaran kisah nyata saya ini, karena Salon Sukma yang terletak di jalan Sudirman 117, Bandung ini sekarang telah tutup..!
No comments:
Post a Comment